Spiritualitas Kemanusiaan Bung Karno

Oleh Benny Sabdo - Anggota Bawaslu DKI Jakarta

Spiritualitas Kemanusiaan Bung Karno
Anggota Bawaslu DKI Jakarta Benny Sabdo. Foto: Dokumentasi pribadi

Latar sejarah tentang permusuhan dan kebencian menjadi titik refleksi Bung Karno dalam menulis.

Perang saudara di Eropa tersebut telah menghancurkan psikologis, harta benda serta mengoyak rasa kemanusiaan.

Selanjutnya Bung Karno bertanya, akan benar-benarkah perkataan Ritman yang diungkapkannya di muka radio Nirom, bahwa Eropa menghadapi anarki? Akan benar-benarkah perkataan Gandhi, bahwa Eropa akan tenggelam tak dapat tertolong lagi tatkala ia dulu berpidato di Bardoli?

Melihat fakta sejarah Eropa tersebut Bung Karno tidak percaya bahwa Eropa akan tenggelam.

Bung Karno bersikap tidak pesimistis; “Saya percaya, saya yakin, perikemanusiaan akan selalu maju, selalu naik, selalu bertambah sedar. Perikemanusiaan itu satu-satu kali jatuh, atau beberapa kali jatuh.

Sampai lututnya, tangannya dan mulutnya berlumuran darah, itu tidaklah saya anggap sebagai berhentinya sejarah. Itu saya anggap sebagai kesakitannya evolusi sejarah, sebagaimana tiap-tiap seorang ibu menderita sakit yang maha-berbahaya pada setiap saat ia melahirkan bayi.”

Bung Karno menulis pesan tentang kemanusiaan begitu sangat mendalam. Sudah begitu lama bangsa Indonesia merumuskan aspek filosofis kemanusiaan.

Kemanusiaan yang bergema kuat menjadi alasan Indonesia harus merdeka. Diksi kemanusiaan, telah membuat para pendiri bangsa, khususnya Bung Karno, merumuskan tesis sederhana, bahwa kemerdekaan Indonesia pada dasarnya adalah jalan dan “jembatan emas” untuk membebaskan manusia Indonesia dari belenggu penjajahan.

Bung Karno, sosok yang memandang bangsanya dan bahkan dunia secara optimistis. Sikap optimistis ini penting bagi karakter seorang pemimpin.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News