Starbuck Sunyi

Oleh Dahlan Iskan

Starbuck Sunyi
Dahlan Iskan di Kota Starbuck. Foto: disway.id

Saya memang sengaja lewat pedesaan. Lewat jalan-jalan kecil. Naik-turun gunung. Lewat lautan ladang gandung yang siap panen.

Di daerah selatan sudah bulan lalu panen. Seperti Texas. Lalu giliran wilayah lebih Utara. Seperti Oklahoma. Kansas. Dan kini Washington State.

Gejala di pedesaan Amerika ternyata sama saja dengan di mana saja. Kian ditinggalkan penduduknya. Terutama anak mudanya. Banyak sekali kota kecil di pedalaman yang kini penduduknya hanya sekitar 100 orang.

Dulu, tahun 1980-an, penduduk Kota Starbuck masih 2000-an orang. Dulu ada kereta api lewat sini. Dulu juga ada proyek bendungan. Sekarang hanya ada pertanian.

Pun sejak dua tahun lalu lebih parah lagi. Pemerintah negara bagian Washington menghentikan anggaran untuk sekolah ini.

"Lalu, dari mana gaji Anda?“ tanya saya.

"Dari sisa saldo lama," katanya.

Sekolah ini adalah sekolah negeri. Hanya siswa TK yang bayar uang sekolah: USD 100 per bulan. Sekitar Rp 1,4 juta.

Ada papan nama kecil yang tiba-tiba mencuri mata saya: Welcome to Starbuck. Saya tidak pernah mendengar Starbucks Coffee lahir dari kota kecil ini.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News