Sudah Lama Berkawan dengan Orang Utan

Sudah Lama Berkawan dengan Orang Utan
BERPENGALAMAN: Aschta Nita Boestani Tajudin saat berkeliling di KBS. Foto: Frizal/Jawa Pos

Penilaian Aschta itu didasari pengalamannya yang begitu panjang dalam bidang konservasi. Alumnus Jurusan Biologi Universitas Nasional Jakarta tersebut memang cinta binatang sejak kuliah. Dia secara khusus meneliti sidik jari untuk mengetahui perbedaan orang utan Kalimantan dan Sumatera. ”Sebelum meneliti, saya mendapat kesempatan belajar sidik jari selama tiga bulan di Mabes Polri,” ujar dia. Penelitian untuk bahan skripsi itu berlangsung antara 1991 hingga 1992.

Penelitian tersebut semakin menjerumuskan dia pada dunia satwa, khususnya soal orang utan. Setelah lulus kuliah, dia mengabdikan diri di Pusat Penelitian Dipterocarpaceae Wanariset Samboja di Balikpapan, Kalimantan Timur. Di tempat itu pula, dia pernah mengambil sampel sidik jari seratus orang utan saat menggarap skripsi.

Dia bekerja di bawah bimbingan Dr Willie Smiits, orang Belanda yang menjadi warga negara Indonesia. Willie juga dikenal sebagai bapak primata Indonesia.

Aschta juga terlibat dalam pendirian Balikpapan Orang Utan Society (BOS) pada 1993 bersama Willie, Joe Cutbertson, dan Peter Karsono. Organisasi yang menaruh perhatian pada pelestarian orang utan itu berkembang pesat. Kegiatannya bukan hanya di Balikpapan, tapi juga di kawasan lain di Kalimantan. Agar organisasi tersebut klop dengan kegiatan yang digeluti, namanya pun diganti Borneo Orang Utan Survival pada 1998.

Pada 1997 Aschta mendapatkan beasiswa dari British Chevening Award untuk belajar di Edinburgh University, Inggris. Dia belajar tentang forestry and natural resource management. Studi selama dua tahun dia selesaikan dengan mulus. ’’Lalu saya bekerja di WWF Jakarta. Tapi, proyeknya di Kalimantan Timur,” ungkap dia. Lagi-lagi, Aschta bergelut dengan orang utan dan bertemu dengan sahabat-sahabatnya.

Aschta melanjutkan ceritanya sambil berjalan dari kandang satu ke kandang lain. Dia berhenti di depan kandang orang utan jantan bernama Sinyo yang berusia 11 tahun.

Di siang yang cukup terik itu, Sinyo sedang bermain di dekat kolam yang mengelilingi kandang peraga. Penjaga bernama Lajiono memberikan sebutir kelapa pada Sinyo. ’’Ayo, Nyo, dikupas. Kelihatan agak tua ya kelapanya?” seru Aschta.

Sambil memperhatikan tingkah polah Sinyo, Aschta melanjutkan ceritanya saat menangani orang utan. Dia menyebutkan, satwa itu harus diperhatikan secara khusus. Sebab, tiap satwa punya karakter masing-masing.

Terik matahari tidak begitu terasa di dalam Kebun Binatang Surabaya (KBS). Pepohonan rimbun menghalau sinar yang terik pada Sabtu siang lalu (27/9).

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News