Sukses Berkat Selesaikan Tiga Krisis

Kiprah Bupati Ngawi Budi Sulistyono Membangun Daerah

Sukses Berkat Selesaikan Tiga Krisis
Bupati Ngawi Budi Sulistyono di kompleks Benteng Van den Bosch. FOTO : Jawa Pos Radar Lawu

Meski bukan cita-cita, namun sejatinya politik tidak bisa dipisahkan dari kehidupan pria yang akrab disapa Kanang atau Mbah Kung itu. Hal tersebut tak lepas dari peran ayahnya yang meskipun seorang guru, tetapi juga aktif berkiprah di PNI.             

Budi ingat betul, di tahun 1970an, ketika orde baru berkuasa, hampir seluruh PNS diwajibkan memilih satu partai. Namun, sang ayah dengan konsisten tetap memilih PNI. Alhasil pilihan itu berujung pahit. Ayahnya mendapatkan sanksi tidak boleh mengajar hingga pensiun.

Pengalaman itu menurut Budi menjadi guru termahal. ”Dari situ saya belajar apa artinya konsisten. Manusia yang akan berhasil adalah manusia yang teguh memegang konsistensi mereka selagi benar,” ucap pria yang berulang tahun setiap 18 Juli itu.

Konsistensi itu pula yang dia pegang ketika dipercaya menjadi pimpinan daerah. Dengan kemampuan manajerial yang apik, Budi berhasil mengubah wajah Ngawi. Beberapa penghargaan telah diraihnya. Terbaru adalah sebagai Pembina terbaik di bidang ketransmigrasian dalam ajang Penganugerahan Gelar Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Timur.

Saat baru menjabat sebagai bupati, Budi menghadapi permasalahan yang pelik. Bukan satu, tapi tiga krisis sekaligus. Krisis pertama adalah kondisi keuangan kabupaten yang minus. Bahkan memiliki utang pada Pemerintah Provinsi.

Tapi berkat kerja kerasnya, Budi mampu membalikkan keadaan itu sekarang. Caranya adalah dengan melakukan penghematan besar-besaran di lingkungan pegawai pemerintah. ”Saat itu, laporan yang dikasih ke saya harus menggunakan kertas bekas. Tidak boleh pakai kertas baru. Begitu juga soal lembur. Pejabat harus mau lembur tanpa dibayar. Karena itu sudah melekat sebagai tanggung jawab mereka,” kata suami Sri Eko Rustiyanti.

Krisis kedua yang harus dia hadapi adalah soal SDM. Semakin banyaknya PNS yang bekerja di pemerintahan tentu akan makin memberatkan neraca keuangan daerah. Padahal, ternyata banyak pegawai yang bekerja itu illegal.

”Masa awal pemerintahan saya lewati dengan mengurangi jumlah pegawai. Semua harus sesuai dengan kebutuhan dan kondisi keuangan. Untuk itu pula, saya sudah menegaskan pentingnya pendidikan kewirausahaan. Jadi mentalitas seseorang bukan hanya menjadi pegawai tetapi juga pengusaha,” tegasnya.

Asam garam pengalaman birokrasi telah dirasakan betul oleh Budi Sulistyono. Bagaimana tidak, sejak 1999 namanya telah menjadi pucuk pimpinan di kota

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News