Sulastri Tak Bisa SMS, Sutarwi Dilempari Pemabuk

Sulastri Tak Bisa SMS, Sutarwi Dilempari Pemabuk
Bendera Merah Putih dan gambar Garuda Pancasila. lustrasi/foto: Sutan Siregar/dok JPG
Kendala keamanan, kata dia, memang bukan menjadi faktor utama karena Indonesia lebih diterima warga setempat. Namun, kini sangat sulit untuk merunut seseorang apakah keturunan Jawa atau bukan. Bahasa Jawa memang masih tetap digunakan sebagai bahasa sehari-hari. Namun, kalangan anak-anak mudanya sudah tak bisa berbahasa Jawa, hanya bisa berbahasa Prancis. "Mereka kebanyakan juga sudah kawin campur. Berbeda dari warga keturunan India dan kulit hitam di sana yang terus menjaga tradisi," terangnya.

Yang dirasakan Sulastri itu berbeda jauh dari Sutarwindargo. Pria kelahiran 1 Mei 1970 tersebut sudah hampir tiga tahun bertugas sebagai acting konsul di KJRI Vanimo, Papua Nugini (PNG). Kantor Sutarwi (panggilan akrab Sutarwindargo) di kalangan sejawatnya di Pejambon (Kementerian Luar Negeri) dikenal dengan sebutan "kantor perwakilan Indonesia yang paling jarang dikunjungi".

Ya, menjadi diplomat di Vanimo memang tidak ada apa-apanya jika dibanding KBRI di New York, London, Paris, atau Jenewa. Mencapai kota kecil yang terletak beberapa kilometer dari perbatasan RI-PNG itu membutuhkan perjuangan tersendiri. Paling mudah dicapai lewat jalan darat, lewat jalan berliku yang diapit hutan dan perbukitan terjal.

Perjalanan bisa ditempuh dalam hitungan jam. Namun, menurut Sutarwi, bila hujan deras, ceritanya bisa lain. "Bertugas di Vanimo harus mampu melawan faktor alam dan kondisi masyarakat yang memang banyak yang kurang terpelajar," ceritanya.

Dia menjelaskan, dalam konteks Vanimo, istilah yang lebih tepat digunakan bukan kerja sama bilateral, melainkan kerja sama antarprovinsi. Sebab, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang membuka kantor perwakilan di wilayah itu. Sayangnya, tugas diplomatik yang dibebankan kepada Sutarwi kerap terkendala hal-hal mendasar.

Alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) itu sering tidak bisa berkomunikasi dengan telepon seluler karena keterbatasan infrastruktur telekomunikasi di sana. Namun, kata dia, sudah beberapa bulan terakhir dirinya bisa menggunakan akses sinyal provider Indonesia di wilayah Vanimo. "Dulu hanya bisa telepon, sekarang sudah bisa SMS dan mulai bisa Facebook," ujarnya bangga.

Karena pertimbangan keamanan, Kemenlu tidak memperkenankan para diplomatnya yang bertugas di konsulat Vanimo memboyong keluarga. Suasana di perbatasan PNG memang tidak tampak mencekam. Tapi, segala potensi kerawanan harus diantisipasi.

Apalagi, kata Sutarwi, masyarakat setempat mempunyai kebiasaan yang kurang terpuji setelah menerima gaji yang dibayar tiap dua minggu. Dengan gaji yang tidak seberapa, penduduk memiliki kebiasaan membeli minuman keras dan berpesta.

Bagi diplomat, bertugas di negara terpencil dan miskin punya tantangan tersendiri. Yang paling menakutkan adalah ketika jalur komunikasi terputus.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News