Sulastri Tak Bisa SMS, Sutarwi Dilempari Pemabuk

Sulastri Tak Bisa SMS, Sutarwi Dilempari Pemabuk
Bendera Merah Putih dan gambar Garuda Pancasila. lustrasi/foto: Sutan Siregar/dok JPG

jpnn.com - Bagi diplomat, bertugas di negara terpencil dan miskin punya tantangan tersendiri. Yang paling menakutkan adalah ketika jalur komunikasi terputus. Jika itu terjadi, sewaktu-waktu keselamatan mereka menjadi taruhan.
 ------------------------------ ---------
 ZULHAM MUBARAK, Jakarta
 ------------------------------ ----------
KETIKA ditemui di Kantor Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) di Jl Pejambon, Jakarta, pekan lalu, Sulastriningsih tampak ceria. Dia adalah acting konjen di Noumea, Kaledonia Baru, sebuah negara terpencil di Lautan Pasifik Selatan. Acting Konjen merupakan jabatan tertinggi untuk perwakilan RI di negara yang tergolong negara kecil.

Bagi Sulastri, diundang rapat ke Jakarta sungguh merupakan kebahagiaan tersendiri. Sebab, dirinya bisa sekalian pulang ke kampung halamannya di Magelang dan Semarang. "Saya sudah minta izin sekalian supaya bisa mampir pulang sebelum kembali ke Noumea," ujar wanita kelahiran 1966 tersebut.

Noumea adalah ibu kota Kaledonia Baru dan cukup asing di telinga sebagian besar rakyat Indonesia. Negara kepulauan itu merupakan sebuah negeri milik Prancis di Samudera Pasifik bagian selatan. Kaledonia baru juga dinamai Kanaki, diambil dari nama penduduk asli kepulauan itu. "Memang hanya sembilan jam dengan pesawat terbang dari Jakarta. Biaya perjalanannya hanya sekitar USD 2.250 (setara sekitar Rp 22 juta). Tapi, harus transit di Australia," jelas ibu tiga anak tersebut.

Namun, kata dia, yang kerap menjadi kendala untuk bisa mencapai Kaledonia Baru adalah cuaca. Karena itu, penerbangan sering tertunda karena cuaca buruk. Lalu, bagaimana dengan penduduk di sana" Sulastri menjelaskan, sebagian besar daerah itu dihuni suku Jawa. Dulu, kata dia, orang Jawa di Kaledonia Baru menjadi kuli kontrak. Perpindahan orang Jawa di Kaledonia juga sama dengan orang Jawa ke Suriname. Namun, kepindahan orang Jawa di Pasifik terhenti sejak 1949. Jumlah penduduk Kaledonia Baru tercatat per 1 September 2006 mencapai 237.765 jiwa.

Bertugas di Kaledonia Baru, menurut dia, membutuhkan kejelian dan faktor kesukuan yang kental. Sebab, di negara kepulauan itu sering terjadi kerusuhan kecil yang dimotori warga asli berkulit hitam. Itu dilakukan dengan tuntutan ingin merdeka dari jajahan Prancis.

Sulastri menjelaskan, dalam beraksi, mereka kerap melakukan sweeping kepada siapa saja yang melintas. Tak jarang, staf kantor perwakilan Indonesia juga terjebak dalam sweeping. Namun, mereka lebih sering lolos tanpa kejadian apa pun setelah menunjukkan tanda pengenal Indonesia dan mengaku berasal dari Jawa.

"Masyarakat Jawa di sana duduk di kalangan menengah ke atas. Berbeda dari pendatang asing lain. Penduduk asli pun sangat menghormati keturunan Jawa," terang dia.  Belajar dari hal itu, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) kerap memprioritaskan staf yang keturunan Jawa untuk ditempatkan di Kaledonia.

Yang masih mengganjal bagi Sulastriningsih adalah sering tersendatnya akses komunikasi dari dan ke Kaledonia menuju Indonesia. Sampai saat ini, kata dia, akses untuk mengirim SMS ke Indonesia dan sebaliknya masih belum memungkinkan. Penggunaan telepon seluler sebatas untuk menelepon. "Ya kalau hendak kirim teks, harus e-mail atau dengan faks. Tapi, kalau mau direct, mungkin dengan telepon saja," ujarnya.

Bagi diplomat, bertugas di negara terpencil dan miskin punya tantangan tersendiri. Yang paling menakutkan adalah ketika jalur komunikasi terputus.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News