Sulitnya (Punya) Anak Superpandai

Oleh Dahlan Iskan

Sulitnya (Punya) Anak Superpandai
Dahlan Iskan. Foto: dok.JPNN.com

Dia tidak hanya hafal Pancasila. Tapi merasuk sekali dalam jiwanya. Saking merasuknya, sampai dia selalu mempersoalkan ini: Mengapa yang tertulis dan diajarkan di Pancasila tidak sesuai dengan kenyataan? Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Seperti yang dia lihat. Dan yang dia alami sendiri. Sebagai pribadi. Sebagai anak. Bahkan sebagai anak keluarga Tionghoa.

Dia ngotot ingin selalu ke tempat pemulung. Ingin tahu arti kehidupan. Ibunya, tentu, melarangnya. Bahkan memarahinya. Semua ibu mungkin akan seperti itu.

Lain waktu, Audrey bikin kejutan lagi. Cita-citanya ingin jadi tentara. Agar bisa jadi pejuang. Seperti pahlawan. Yang fotonya dipajang di dinding kelasnya. Heroik. Seperti kisah pahlawan dari guru-gurunya.

Ibunya, tentu, marah lagi.

Waktu ibunya menikah dulu, bukan anak seperti itu yang dia impikan. Begitu lama sang ibu mendambakan segera punya anak. Tidak kunjung hamil. Tiga tahun. Empat tahun. Lima tahun. Lama sekali menanti. Setelah itu barulah hamil.

Begitu besar harapan pada anak itu. Apalagi, Audrey tidak kunjung punya adik. Audrey menjadi satu-satunya anaknya. Terlalu banyak keinginan sang ibu pada masa depan Audrey kecilnya. Begitu mampu sang ibu untuk menyiapkan apa saja.

Dia insinyur kimia. Suaminya insinyur mesin. Kedudukan suaminya sangat tinggi di sebuah perusahaan raksasa. Di luar itu masih punya usaha. Bahkan beberapa. Pokoknya, dia cukup kaya. Kurang apa.

Harapan pada anaknya tentu seperti umumnya harapan orang tua. Apalagi anak tunggal. Yang untuk menanti kehadirannya begitu lama. Anaknya harus pandai, cantik, dan kelak bisa menjadi orang sukses. Terkemuka. Kaya. Lebih sukses dari orang tuanya. Kemudian bisa mendapat suami yang setara.

Umur Audrey baru empat tahun. Saat itu. Tapi pertanyaannya setinggi filosof: Ke mana perginya rasa bahagia? Atau: Apa arti kehidupan?

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News