Tanah
Oleh: Dhimam Abror Djuraid
Namun, kalau harus dianggap serius, seloroh itu menunjukkan keangkuhan peradaban Barat yang selalu merasa superior dibanding peradaban Timur.
Sejak ratusan tahun silam, di masa-masa feodal maupun di masa kolonial, masalah tanah menjadi persoalan sensitif yang sering memicu konflik personal dan komunal. Pemberontakan terhadap raja maupun penguasa kolonial banyak muncul karena dipicu oleh konflik tanah.
Prof Sartono Kartodirdjo mendokumentasikan pemberontakan besar yang dilakukan petani Banten terhadap kekuasaan kolonial Belanda pada 1888. Perlawanan itu dianggap sebagai awal dari gerakan sosial yang kemudian meluas di Hindia Belanda.
Dalam buku ‘’Pemberontakan Petani Banten’’ (1984) Sartono mengungkapkan bahwa pemberontakan yang dipimpin oleh para ulama lokal itu muncul akibat kesewenang-wenangan Belanda dalam kebijakan mengenai tanah.
Perampasan tanah secara semena-mena, dan penerapan pajak yang mencekik, menjadikan petani yang sudah miskin menjadi makin menderita.
Bencana alam yang terjadi akibat letusan dahsyat Gunung Krakatau pada 1883 menghancurkan kesuburan tanah karena perubahan iklim yang ekstrem.
Kondisi ini makin memperparah penderitaan para petani, sampai akhirnya tidak tertahankan lagi dan pecah menjadi pemberontakan besar.
Pada era kolonial, wilayah Banten dan sekitarnya menjadi salah satu daerah yang paling melarat dan menderita. Tanam paksa dan pajak yang mencekik diterapkan dengan sangat keras.
Para petani dan pemilik tanah miskin selalu rentan terhadap pengambilalihan paksa oleh penguasa.
- Badan Bank Tanah Sebut Hak-Hak Masyarakat di HPL Tetap Dipenuhi
- Mafia Tanah di Jawa Timur Diamankan, Ribuan Sertifikat Dipalsukan
- Perihal Sengketa Tanah antara Warga Sunter Jaya vs Kodam, Politikus PDIP: Kami Kawal Sampai Tuntas
- Pernyataan Terbaru Rocky Gerung soal Elektabilitas Capres & Demokrasi, Menyasar Siapa nih?
- Soal Sengketa Tanah dengan Kodam Jaya, 500 Warga Sunter Jaya Mengadu ke DPR RI
- Rocky Sebut Aksi Tolak Dinasti di 899 Kampus Bentuk Desakan Agar Jokowi Dimakzulkan