Tanpa Nyekar dan Silaturahmi, Baju Baru Tak Mampu Ubah Wajah Lesu

Tanpa Nyekar dan Silaturahmi, Baju Baru Tak Mampu Ubah Wajah Lesu
Penganut Syiah di Flat Puspa Agro, Taman, Sidoarjo, Sabtu pagi (10/8). Foto: Jawa Pos/JPNN

Bagi Iklil dan saudara-saudaranya, Lebaran bukan sekadar waktu untuk merayakan kemenangan setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa Ramadan. Pada masa Lebaran itulah sanak saudara yang terpisah karena berbagai urusan bisa berkumpul dan bercengkerama tanpa sekat di kampung halaman.

Bukan hanya momen bersilaturahmi dengan yang masih hidup, Lebaran juga menjadi saat untuk menyambung rasa dengan leluhur yang sudah meninggal. Tentu melalui media nyekar ke makam leluhur.

Bagi anak-anak, Lebaran adalah keceriaan. Waktu Lebaran mereka bisa menyantap aneka hidangan yang bisa jadi tidak dapat dinikmati pada hari-hari biasanya. Saat Lebaran mereka juga bisa mengenakan baju baru. ”Tapi, itu semua tidak bisa kami lakukan saat ini,” kata Iklil dengan sedih.

Kakak kandung Tajul Muluk, pemimpin Syiah Madura, tersebut mengisahkan, setiap Lebaran, masyarakat di kampung halamannya juga melakukan kebiasaan umum saat Idul Fitri. Antara lain, nyekar makam leluhur dan bersilaturahmi. ”Nyekar dilakukan setelah salat Id. Setelah itu, dilanjutkan silaturahmi ke saudara dan tetangga hingga malam. Kami belum pulang kalau silaturahminya belum tuntas satu kampung,” paparnya.

Namun, pada Lebaran kali ini kebiasaan itu tak lagi bisa dilakukan. Bahkan, untuk pergi ke masjid buat menunaikan salat Id saja, mereka harus dikawal petugas. Kamis, 8 Agustus lalu, mereka melaksanakan salat Id di masjid yang terdapat di Kletek, Taman. Untuk menuju masjid itu, mereka diangkut dengan kendaraan terbuka dan dikawal.

Selepas salat, mereka kembali ke flat. ”Memang ada silaturahmi dan makan bersama di antara kami, namun rasanya begitu sunyi. Kami rindu suasana di kampung. Sebab, di sini kami terkurung,” akunya. Betapa tidak rindu, setelah silaturahmi dan makan bersama, mereka kembali hanya bisa duduk-duduk di lingkungan flat atau malah rebahan di dalam kamar. Tidak ada acara kunjungan ke kerabat. Tidak ada pula kunjungan dari kerabat.

Kondisi anak-anak mereka pun tak jauh berbeda. Sebanyak 25 di antara 151 penganut Syiah yang dipaksa mengungsi ke Flat Puspa Agro adalah anak-anak. Iklil menyebut, memang ada yang bisa mengenakan pakaian baru. ”Hanya, rasanya tetap berbeda. Sebab, mereka tidak bebas bermain,” ucapnya.

Kesunyian dan kekosongan hati mereka sedikit terobati kemarin siang. Hal itu seiring dengan kunjungan kerabat mereka dari Pasuruan, Bandung, dan Pamekasan. Salah satu yang berkunjung adalah Romli. Kedatangan pria dari Pasuruan tersebut disambut langsung Iklil. ”Saya datang bukan sekadar bersilaturahmi, tapi juga ingin menguatkan hati saudara-saudara kami di sini. Sebab, saya yakin, jika ada yang berkunjung, hati mereka akan menjadi kuat kembali,” kata Romli.

LEBARAN adalah momentum sanak saudara bisa berkumpul dan bercengkerama di kampung halaman. Tapi, itu semua tak lagi bisa dirasakan warga Sampang,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News