Tarif Penitipan Anak di Australia Bikin Pening, Pendatang Asal Indonesia Pilih Tak Bekerja
Sejak pindah ke Tasmania sekitar 3,5 tahun lalu, Efendi bekerja sebagai 'chef' selama 5 hari seminggu. Saat suaminya libur, Pebrinawaty yang bekerja.
"Ketika anak masih satu, kami gantian jaga, dan kebetulan waktu itu saya kerja di supermarket yang bukanya pagi, jadi bisa dapat shift empat sampai lima jam sehari," jelasnya.
Tapi kondisi mereka sekarang berbeda.
Menurut Pebrinawaty, mahalnya biaya hidup termasuk untuk membayar 'child care' membuat keluarga muda ini mengurungkan niat untuk menambah anak.
Mereka sedang mengajukan permohonan untuk menjadi penduduk tetap (PR), karena status bukan PR ini yang membuat mereka tidak bisa mengakses subsidi dari pemerintah untuk mendapat pelayanan penitipan dan perawatan anak, atau Child Care Subsidy (CCS).
Tapi, bahkan bagi keluarga yang bisa mengakses CCS pun, pengalamannya tidak semudah yang dibayangkan oleh keluarga yang tak menerimanya.
Tetap mahal meski ada subsidi
Helena Logue, seorang guru sekolah menengah di negara bagian Victoria, memiliki dua orang anak umur tujuh dan dua tahun, yang tinggal di daerah Frankston, pinggiran Kota Melbourne.
Helena menitipkan anak bungsunya di child care, sedangkan anak sulung yang sudah sekolah juga dititip sebelum dan setelah jam sekolah.
Biaya penitipan anak, atau 'child care' di Australia tetap sangat mahal, meski disubsidi pemerintah
- Sarung Tangan Buatan Perusahaan Asal Yogyakarta Ini Sukses Merambah Pasar Australia
- Dunia Hari Ini: Lebih dari 70 Orang Tewas Akibat Banjir di Brasil
- Dunia Hari Ini: Indonesia Kalah Melawan Irak Dalam Piala Asia U-23
- Orang Utan Sumatra, Hewan Liar yang Bisa Mengobati Dirinya Sendiri dengan Tanaman Obat
- Dunia Hari Ini: Jalan Raya di Guangdong Runtuh, 24 Orang Tewas
- Banyak Pekerja Start-Up yang Belum Tahu Haknya Sebagai Buruh