TB Hasanudin: Nalar Saya Sulit Memaknai Pernyataan Ini

TB Hasanudin: Nalar Saya Sulit Memaknai Pernyataan Ini
Helikopter EC-725 produksi PTDI. Foto: Humas KemenPAN-RB for JPNN

jpnn.com - JAKARTA--Desakan agar pemerintah tidak membeli helicopter buatan Agustawestland makin gencar disuarakan berbagai kalangan masyarakat.

Bahkan TB Hasanudin, politikus F-PDIP semakin bersuara lantang menolak pembelian AW101 yang harganya jauh lebih mahal daripada heli Super Puma Combad SAR buat PT Dirgantara Indonesia (PTDI).

"Saya berharap di Indonesia tidak akan terjadi kasus skandal suap pembelian AW101 seperti di India.‎ Tapi kalau ada pejabat negara terus mendorong menggunakan AW101 , ini merupakan pelanggaran terhadap UU No 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan," tegas TB Hasanudin yang dihubungi JPNN, Selasa (1/12) . 

Dia menyebutkan, pengadaan alutsista harus mendapat izin dari Presiden sebagai ketua KKIP ( Komite Kebijakan Industri Pertahanan‎. "Saya baca di salah satu media cetak di Jakarta, ada pernyataan pejabat TNI AU yang menyatakan, jika presiden tak setuju pun , TNI AU tetap akan membeli Agusta AW 101. Nalar saya sulit memaknai pernyataan ini," ujarnya. 

Dia lantas mengajukan sederet pertanyaan. Yang dipakai membeli itu (AW101) nanti uang apa ? Lalu presiden bukan kah penguasa tertinggi atas angkatan perang? Apa mungkin perintahnya dibantah bawahannya ? Lalu helikopter itu dipakai oleh siapa? Siapa yang dimaksud VVIP dalam APBN tersebut? Apakah nanti Menteri Keuangan bersedia membayarnya, padahal presiden tidak menyetujuinya?

"Pertanyaan-pertanyaan ini yang menggelitik kami. Makanya nanti Insya Allah Rabu besok (hari ini, red) kami akan memanggil KASAU untuk minta klarifikasi masalah AW101," ucapnya.

Kasus pembelian helikopter AW 101 oleh Angkatan Udara India (Indian Air Force) memang menjadi isu besar di Negeri Sungai Gangga itu. Sebab, kasus korupsi yang di India dikenal dengan sebutan chopper gate atau skandal helikopter ini memang menyeret nama-nama petinggi parlemen hingga Kepala Angkatan Udara India.

Kasus itu bermula dari ditandatanganinya kontrak pembelian 12 unit helikopter AW 101 senilai USD 540 juta oleh Angkatan Udara India pada 2010. Rencananya, helikopter VVIP itu akan digunakan untuk menunjang kegiatan perdana menteri, presiden, dan pejabat tinggi India lainnya.

Namun pada Februari 2013, kontrak pembelian helikopter itu menjadi heboh lantaran ditangkapnya Giuseppe Orsi, CEO Finmeccanica, perusahaan induk AgustaWestland oleh otoritas hukum Italia. Tuduhannya, menyuap pejabat India untuk memuluskan kontrak penjualan 12 unit helikopter AW 101.

Penangkapan itu ditindaklanjuti parlemen India untuk memulai investigasi pada Maret 2013. Apalagi, muncul pernyataan resmi Kementerian Pertahanan India yang mengakui telah terjadi korupsi dan penyuapan dalam pembelian helikopter tersebut. India akhirnya membatalkan kontrak pembelian helikopter AW 101 pada Januari 2014.

Berkaca dari kasus tersebut, Wapres Jusuf Kalla meminta agar rencana pembelian sembilan unit helikopter AW 101 yang masing-masing seharga USD 55 juta (sekitar Rp 700 miliar) itu dievaluasi lebih hati-hati. Apalagi, melibatkan anggaran dalam jumlah besar. ”Kami khawatir, helikopter buangan dari India itu yang mau dibeli Indonesia,” ujarnya‎. (esy/jpnn)


JAKARTA--Desakan agar pemerintah tidak membeli helicopter buatan Agustawestland makin gencar disuarakan berbagai kalangan masyarakat. Bahkan TB Hasanudin,


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News