Terbang setelah Delapan Tahun Gantung Ijazah di Kamar
Selasa, 21 Oktober 2008 – 11:55 WIB
Jumlah wanita pilot yang bekerja di penerbangan komersial di Indonesia masih bisa dihitung dengan jari. Di tengah lingkungan profesi yang masih dikuasai laki-laki, mereka harus membuktikan ”keahlian” yang lebih.
IWAN UNGSI- IMAM SYAFEI, Jakarta
SEJAK masa kanak-kanak Monika Anggraeni akrab dengan pesawat terbang. Bukan hanya karena rumahnya berada di kompleks Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta, tapi juga karena sang ayah, almarhum Bambang Wiratmo, adalah kolonel Angkatan Udara di bidang teknik.
”Sejak kecil saya sering diajak Bapak melihat pesawat,” kata Monik, panggilan akrabnya, saat ditemui Jawa Pos di sela-sela rehat Coffee Bean, Plaza Senayan, Jakarta.
Mungkin karena masih langkanya wanita yang jadi penerbang di Indonesia, selepas SMA Monika tidak langsung ingin merealisasikan cita-citanya. Dia malah mendaftarkan diri ke Teknik Sipil Universitas Trisakti. Namun, hanya berjalan satu semester, keinginannya menjadi pilot kembali menggoda.
”Saya keluar lalu pindah sekolah ke Juanda Flying School (JFS) di Surabaya,” katanya. Setelah dua tahun di JFS (1994-1996), Monik meneruskan sekolahnya di Avindo Angkasa yang berada di areal Halim Perdana Kusumah.
Jumlah wanita pilot yang bekerja di penerbangan komersial di Indonesia masih bisa dihitung dengan jari. Di tengah lingkungan profesi yang masih dikuasai
BERITA TERKAIT
- Ninis Kesuma Adriani, Srikandi BUMN Inspiratif di Balik Ketahanan Pangan Nasional
- Dulu Penerjemah Bahasa, kini Jadi Pengusaha Berkat PTFI
- Mengintip Pasar Apung di KCBN Muaro Jambi, Perempuan Pelaku Utama, Mayoritas Sarjana
- Tony Wenas, Antara Misi di Freeport dan Jiwa Rock
- Hujan & Petir Tak Patahkan Semangat Polri Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Wilayah Terluar Dumai
- Tentang Nusakambangan, Pulau yang Diusulkan Ganjar Jadi Pembuangan Koruptor