Terpinggirkan secara Politik, Dites Keperawanan karena Demo

Terpinggirkan secara Politik, Dites Keperawanan karena Demo
Terpinggirkan secara Politik, Dites Keperawanan karena Demo
KAIRO - Sejarah dan peradaban tidak bisa dipisahkan dari kaum perempuan. Begitu pula yang terjadi di Mesir. Merekalah yang berada di garis terdepan saat demonstrasi dan revolusi rakyat di Lapangan Tahrir, Kairo, hingga menjungkalkan diktator Mesir Hosni Mubarak pada 11 Februari lalu. Tapi, kini mereka dianggap sebelah mata oleh pemerintahan baru Dewan Tinggi Militer (SCAF) Mesir di bawah pimpinan Mohamed Hussein Tantawi.

Karena itulah, Marwa Sharaf el-Din, seorang kandidat doktor (PhD) di Universitas Oxford, memutuskan untuk kembali turun ke Lapangan Tahrir guna bergabung dengan demonstran lain pada pertengahan Maret lalu. Saat itu dia tampil membacakan Zajal, puisi tradisional populer Mesir, di hadapan massa demonstran.

"Haruskan saya mengalah menjadi seorang perempuan Timur? Apakah saya harus selalu mengatakan "Ya" ketika menjadi perempuan Mesir?" lontarnya saat membacakan puisi satirnya tersebut.

Pembentukan kabinet baru pemerintahan Mesir pada awal Maret dan Juli lalu dinilai sebagai momen paling mengecewakan aktivis hak asasi perempuan maupun kaum perempuan pada umumnya di seantero negeri piramid tersebut. Kabinet yang dipimpin Perdana Menteri (PM) Essam Sharaf itu terdiri atas 25 menteri dan dua wakil PM. Di antara jumlah itu, hanya seorang perempuan yang ditunjuk mengisi kabinet. Yakni, Menteri Perencanaan dan Kerja Sama Internasional Fayza Mohamed Aboulnaga.

KAIRO - Sejarah dan peradaban tidak bisa dipisahkan dari kaum perempuan. Begitu pula yang terjadi di Mesir. Merekalah yang berada di garis terdepan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News