Tersiksa Jendela

Oleh: Dahlan Iskan

Tersiksa Jendela
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Dengan cara duduk berhadapan seperti itu penumpang bisa rapat sambil terbang. Atau ngobrol lebih gayeng. Atau ngegosip tingkat tinggi. Atau sambil makan. Ada meja makan di tengahnya. Kursinya pun setengah sofa.

Berarti sudah biasa ada kursi menghadap ke belakang. Toh, Anda sudah sering lihat: pramugari juga selalu duduk menghadap ke belakang: sambil mengumumkan bahwa pesawat sudah akan mendarat.

Akan tetapi yang saya naiki kemarin itu pesawat komersial. Perasaan penumpang harus dipertimbangkan. Apakah penumpang bisa menerima. Misalnya Anda. Ini soal marketing. Untuk apa lebih efisien tetapi tidak disukai.

Misalnya membangun rumah di posisi tusuk sate. Efisien tetapi sulit laku –kecuali rumah pertama yang mampu saya beli dulu: tusuk sate di Tenggilis Mejoyo. Tidak sial. Bahkan bisa membuat saya rukun 50 tahun dengan wanita yang di foto itu: 20 Agustus nanti.

Apakah duduk menghadap ke belakang dikeluhkan oleh penumpang?

"Tidak ada," jawab pramugari di situ. "Paling ketika awal datang saja ada yang seperti kaget, kok, menghadap ke belakang," tambahnyi.

Saya termasuk yang tidak kaget: sudah diberi tahu sejak memilih kursi waktu check in. Sama-sama menghadap ke belakang pilih yang mana. Sama-sama terpisah dengan wanita itu tetapi yang mana.

Saya pilih yang dipisahkan meja. Bisa tetap saling lihat –setidaknya saling lirik. Untuk ngobrol memang agak sulit. Berjarak. Sedikit mengeraskan suara akan mengganggu penumpang lain.

LIHATLAH foto itu: satu penumpang menghadap ke depan. Dua lainnya menghadap ke belakang. Di pesawat berbadan lebar jurusan Abu Dhabi–Jeddah dua hari lalu.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News