Tim Hukum Prabowo Gagal Total Membuktikan Keberadaan Pemilih Siluman

Tim Hukum Prabowo Gagal Total Membuktikan Keberadaan Pemilih Siluman
Tim hukum pasangan calon 02. Foto: Ricardo/JPNN.com

Rapat dihadiri dan disetujui Bawaslu, peserta pemilu baik itu parpol maupun paslon, dan pemerintah. Kemudian, dituangkan dalam keputusan KPU mengenai DPT yang diberlakukan sebagai daftar pemilih dalam Pemilu 2019. Dengan kata lain, kata Saldi, secara normatif ini adalah persoalan yang sudah selesai sesuai tahapan penyelenggaraan pemilu. Tepatnya, tegas dia, DPT dan DPTB dan DPK sudah selesai sebelum pelaksanaan pemungutan suara.

Menurutnya lagi, secara teknis terdapat jeda waktu antara hari penetapan DPT dan pemungutan suara. Dalam jeda waktu tersebut, terjadi persitwa kependudukan berakibat hilangnya hak pilih bagi penduduk. Misalnya, peristiwa perkawinan, pertambahan usia, maupun kematian. Serta yang memengaruhi hak pilih seperti mobilitas penduduk antarwilayah administrasi. “Semua peristiwa kependudukan itu harus selesai sebelum pemungutan suara,” katanya.

Pada sidang 19 Juni, lanjut Saldi, mahkamah memeriksa saksi dari pemohon, Agus Maksum, yang menerangkan ketidakwajaran DPT berupa adanya kode tidak wajar, NIK, NKK palsu, kesamaan tanggal lahir dalam jumah tak wajar serta KK manipulatif. Dalam pemeriksaan tersebut, ujar dia, pemohon tidak menghadirkan bukti P155 walaupun sudah dicantumkan dalam daftar alat bukti untuk dalil DPT tidak wajar.

Bukti P155 baru diserahkan dalam bentuk fisik Rabu 19 Juni 2019 pukul 10.14, masih dalam tenggat waktu maksimun pukul 12.00 yang diberikan mahkamah. “Oleh karena itu mahkamah berpendapat bukti dimaksud sah dan akan dipertimbangkan mahkamah,” katanya.

Saldi menjelaskan mengenai persoalan DPT, ketika nama seorang masuk dan terdaftar maka yang bersangkutan mempunyai hak memilih untuk ikuti pemungutan suara. Persoalan hak digunakan atau tidak sepenuhnya di tangan pemiliknya.

Menurut dia, mengikuti pemungutan suara adalah hak, bukan kewajiban. Seandainya diposisikan sebagai kewajiban, kata dia, mengikuti pemungutan suara juga bukan kewajiban hukum tetapi kewajiban moral warga negara sebagai bagian paritispasi dalam pemerintahan.

Berdasar uraian tersebut, lanjut Saldi, tidak terhindar akan timbul kemungkinan jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih tidak akan sama dengan yang tercatat dalam DPT. Sehingga kemungkinan seorang tidak menggunakan hak pilihnya, atau hanya gunakan dalam pilpres tetapi tidak di pileg.

Saldi melanjutkan, terkait dalil 1,7 juta DPT siluman, dan 5,7 pemilih dalam DPK pemohon mengajukan bukti P155. Menurut Saldi, setelah mencermati dalil pemohon, mahkamah menemukan penjumlah pemilih tidak wajar dalam DPT ditambah DPK 23, 2 juta pemilih bukan 22,34 juta DPT sebagaiaman didalilkan.

Mahkamah Konstitusi berpendapat dalil pemohon sengketa hasil Pilpres 2019, Prabowo Subianto – Sandiaga Uno, soal daftar pemilih tetap tidak wajar atau DPT siluman 17,5 juta

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News