Tolak Revisi UU TNI, Jaringan GUSDURian: Berpotensi Kembalikan Dwifungsi ABRI

Menurutnya, masyarakat merasa tidak ada gunanya lagi mencari alternatif karena akan dikalahkan alternatif dari militer dan ini merupakan praktik yang buruk dalam kehidupan berdemokrasi.
Dia menegaskan dalam sistem demokrasi yang sehat, militer harus berada di bawah kontrol sipil dan tidak memiliki peran langsung dalam pemerintahan atau politik.
Alissa meyebutkan demokrasi mengutamakan supremasi sipil, yakni pemerintahan dijalankan oleh warga sipil yang dipilih secara demokratis.
"Dwifungsi militer akan mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil, sehingga melemahkan kontrol sipil atas angkatan bersenjata," tegasnya.
Oleh karena itu, lanjut Alissa, Jaringan Gusdurian menyatakan menolak revisi UU TNI yang berpotensi menghidupkan kembali Dwifungsi TNI/Polri.
Dia mengatakan prajurit aktif harus fokus pada tugas pertahanan negara, bukan politik atau administrasi pemerintahan.
"Keterlibatan prajurit aktif dalam politik dapat mengurangi profesionalisme dan membuat tentara abai terhadap tugas utamanya sebagai penjaga kedaulatan negara," tegasnya.
Dia juga meyakini dengan kekuatan bersenjata dan posisi strategis dalam pemerintahan, tentara berpotensi menyalahgunakan kekuasaan, melanggar HAM, dan bersikap represif terhadap masyarakat.
Direktur Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid menyatakan pihaknya menolak revisi Revisi UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI yang menuai protes dari masyarakat
- Koalisi Masyarakat Sipil Mengecam Intervensi Anggota TNI di Kampus UI dan UIN Semarang
- Judicial Review UU TNI oleh Perwira Aktif Dinilai Upaya Sistematis Kembalikan Dwifungsi ABRI
- Prajurit Aktif Gugat UU TNI ke MK, Imparsial: Upaya Menerobos Demokrasi
- Prabowo Tegaskan Tak Ada Niat Menghidupkan Kembali Dwifungsi TNI, HIPAKAD Merespons
- MPSI Minta Masyarakat Tak Ragu Komitmen Prabowo Lakukan Reformasi Pemerintahan
- Menhan Sebut RUU TNI Tak Memuat Aturan Soal Wajib Militer Buat Masyarakat Umum