Vonis SAT Bakal Jadi Tolak Ukur Kepastian Hukum

Vonis SAT Bakal Jadi Tolak Ukur Kepastian Hukum
Mantan Kepala BPPN Syafruddin A Temenggung dan penasihat hukumnya, Yusril Ihza Mahendra. Foto: Fedrik Tarigan/Jawa Pos

jpnn.com - Vonis hakim Pengadilan Negeri Tipikor terhadap mantan Ketua Badan Penyehatan Perbanlan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) merupakan salah satu tolok ukur jaminan kepastian hukum di Indonesia. Bila SAT dibebaskan, hal tersebut membuktikan hakim menghormati kepastian hukum. Namun bila SAT dijatuhi hukuman penjara, hal tersebut bisa dipersoalkan dunia usaha sebagai bukti tidak adanya konsistensi kebijakan negara.

Menurut rencana, majelis hakim Pengadilan Tipikor akan membacakan keputusannya terhadap SAT pada Senin (24/9) yang akan datang. Sebelumnya jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut SAT dengan hukuman penjara 15 tahun ditambah denda Rp 1 milyar subsider enam bulan kurungan. SAT diperkarakan KPK karena memberikan surat keterangan lunas (SKL) kepada pemegang saham BDNI pada 2004, yang dianggap KPK sebagai penyalahgunaan wewenang serta memperkaya orang lain dan korporasi.

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Fadhil Hasan, mengatakan Rabu (19/9) bahwa majelis hakim seyogyanya mempertimbangkan aspek-aspek yang lebih luas mengingat kasus ini menjadi perhatian masyarakat, khususnya oleh kalangan dunia usaha. Tindakan SAT sebenarnya menjalankan keputusan politik pemerintah yang sedang berusaha keras bisa keluar dari krisis ekonomi. Pemberian SKL tersebut dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi pengusaha yang koperatif dan telah memenuhi kewajibannya.

Sesuai data Kementrian Keuangan masih banyak obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang hingga saat ini tidak koperatif dan sengaja menghindari kewajiban mereka. Pemegang saham BDNI telah membayar kewajibannya sesuai skema Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) pada 1999. Sesuai UU No 25/2000 debitur BLBI yang telah menandatangani dan memenuhi MSAA diberikan jaminan kepastian hukum, yang kemudian disusul Inpres No 2 Tahun 2002 bahwa debitur yang kooperatif akan diberikan kepastian hukum.

Sebelumnya, Chairman InfoBank Institute, Eko B Supriyanto, dalam analisisnya membeberkan sejumlah kejanggalan, yang memperlihatkan kelemahan tuduhan jaksa KPK.

Pertama, masalah audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam kerangka penyelesaian masalah BLBI-BDNI tersebut, BPK telah melakukan audit pada 2002 dan 2006. Hasilnya, seluruh kewajiban Sjamsul Nursalim (SN) selaku pemegang saham BDNI sudah dilunasi dan tidak ditemukan masalah. Laporan Audit Investigatif BPK 2017 diminta oleh KPK setelah SAT ditetapkan sebagai tersangka, hasilnya bertolak belakang dengan dua audit BPK sebelumnya, yaitu terdapat kerugian negara dalam penyelesaian BLBI-BDNI. 

Audit investigatif tersebut tidak memenuhi standar pemeriksaan keuangan yang diatur oleh BPK sendiri, yaitu Peraturan BPK No. 1 Tahun 2017, khususnya butir 21 sampai dengan 26. Sesuai dengan Pasal 6 ayat 5 UU BPK, suatu laporan audit harus memiliki pihak yang diperiksa (auditee) dan harus dikonfirmasi ke auditee-nya, serta harus menggunakan data primer. Tapi dalam Laporan Audit Investigatif BPK 2017 tersebut tidak ada auditee yang diperiksa, dengan sendirinya tidak pernah terkonfirmasi. Data yang digunakan bukan data primer, melainkan data sekunder. 

Kedua, masalah misrepresentasi. Ahli hukum perdata Prof Nindyo Pramono dalam kesaksiannya menyatakan bahwa dalam suatu perjanjian perdata, termasuk dalam hal ini MSAA, penetapan terjadi misrepresentasi atau tidak, harus melalui keputusan pengadilan. Karena dalam hukum perdata suatu misrepresentasi tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan. "Jalurnya digugat dahulu di perdata, dibuktikan dahulu misrepresentasi atau tidak," kata Prof Nindyo Pramono.

Vonis hakim Pengadilan Negeri Tipikor terhadap Syafruddin Arsyad Temenggung bakal jadi salah satu tolok ukur jaminan kepastian hukum di Indonesia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News