Dalil Penuntut Umum kepada Terdakwa Temenggung Harus Ditolak

Dalil Penuntut Umum kepada Terdakwa Temenggung Harus Ditolak
Mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung. Foto: JPG/Rmol

jpnn.com, JAKARTA - Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arysad Temenggung dinilai tidak melakukan perbuatan melanggar hukum ketika menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang berkaitan dengan perjanjian Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) Bank Dagang Negara Indonesia (BNI) atas nama obligor Sjamsul Nursalim. Dengan demikian, tidak dapat dibuktikan juga Syafruddin memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi atas penerbitan SKL tersebut.

“Sangat erat kaitannya perbuatan melawan hukum sebagai suatu syarat terpenuhinya unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Dalil penuntut umum bahwa terdakwa melanggar hukum tidaklah berdasar, keliru, dan haruslah ditolak,” demikian isi pembelaan (pledoi) terdakwa Syafruddin Temenggung yang dibacakan secara bergantian oleh Tim Penasihat Hukum di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), Jumat (14/9/2018). Tim Penasihat Hukum terdiri dari antara lain Yusril Ihza Mahendra, Ahmad Yani, dan Hasbullah.

Dalam tuntutan yang dibacakan penuntut umum pada Selasa, 4 September 2018, Syafruddin dituntut hukuman penjara 15 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan, karena salah satunya melanggar Pasal 37 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Dalam pledoi yang dibacakan baik oleh Syafruddin sendiri maupun penasihat hukum yang berlangsung Kamis (13/9/2018) dan dilanjutkan Jumat (14/9/2018), keseluruhan dalil penuntut umum dipatahkan oleh pihak terdakwa dan penasihat hukumnya.

Dalam pledoi disebutkan, BPPN tidaklah tunduk kepada Pasal 37 UU Perbendaharaan Negara, karena: Pertama, BPPN tunduk kepada rezim hukum yang berbasis pada asas lex specialis (aturan khusus) untuk semua aturan hukum yang ada dalam sistem hukum yang berlaku dan merupakan hukum darurat untuk mengatasi krisis.

Kedua, BPPN tunduk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 1999 tentang BPPN. Oleh karena itu, PP tentang BPPN itu harus dilihat sebagai satu kesatuan dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, mengingat keberadaannya merupakan turunan dari Pasal 37A UU Perbankan yang berbunyi: Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan Perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, atas permintaan Bank Indonesia, Pemerintah setelah berkonsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat membentuk badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan Perbankan. Badan khusus dimaksud adalah BPPN.

Ketiga, undang-undang memberikan kewenangan-kewenangan khusus kepada BPPN yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya. Sifat dari kewenangan yang dimiliki oleh BPPN tersebut merupakan lex specialis terhadap ketentuan UU lainnya. Maka selain UU, tindakan yang diambil oleh BPPN dipersamakan dengan suatu keputusan pengadilan yang bersifat serta merta. Hal ini tiada lain karena keadaan ekonomi nasional dalam keadaan bahaya dan eksistensi BPPN tersebut hanya dalam keadaan sementara (ad hoc)

Keempat, dengan mendalilkan bahwa UU Perbendaharaan Negara berlaku terhadap BPPN, penuntut umum kurang memahami ketentuan yang terkait dengan program penyehatan perbankan dan restrukturisasi utang perusahaan sebagaimana diatur dalam Pasal 37A UU Perbankan jo. Keppres Nomor 34 Tahun 1998 jo PP Nomor 17 Tahun 1999 tentang BPPN.
Tentang sifat khusus (lex specialis) dari PP tentang BPPN juga dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 01/1999 berkaitan dengan uji materiil PP BPPN yang diajukan oleh DPP Asosiasi Advokat Indonesia (AAI).

Menurut Kuasa Hukum Syafruddin Arysad Temenggung, dalil penuntut umum bahwa terdakwa melanggar hukum tidaklah berdasar, keliru, dan haruslah ditolak.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News