Waisak, Siddharta, dan Buddha

Waisak, Siddharta, dan Buddha
Warga Tionghoa membersihkan patung di Wihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat, Bogor. Foto: Ricardo/JPNN.com

Syahdan, pada suatu hari Siddharta bersama kusirnya yang setia pergi keluar istana. Kehidupan di luar istana membuatnya terhenyak.

Legenda dalam teks berbahasa Pali menyebut Siddharta melihat orang sakit, lansia, mayat, dan shramana (pelaku praktik pertapaan yang mencari kesadaran dan kesejatian). Kenyataan tentang empat hal yang dilihat Siddharta di luar tembok istana itu membalikkan pandangannya tentang kehidupan yang indah.

Itulah yang mendorong Siddharta pergi dari istana. Dia memulai pencariannya untuk mengakhiri penderitaan manusia.

Karen Armstrong dalam 'Sejarah Tuhan' menuturkan Siddharta meninggalkan istri, anak, dan istananya pada 538 SM. Selanjutnya, Siddharta pada usia 29 tahun memutuskan menjadi petapa sederhana.

Selama enam tahun selanjutnya, Siddharta menimba ilmu kepada para guru spiritual Hindu. Guru pertamanya adalah seorang shramana bernama Alara Kalama yang mengajarkan cara seseorang mencapat 'tingkat kekosongan' melalui yoga.

Siddharta mampu menguasai itu. Namun, tak puas dengan guru pertama, dia mencari suhu lainnya.

Pencarian itu menuntun Siddharta kepada guru kedua bernama Uddaka Ramaputra. Guru baru itu mengajarkan yoga untuk mencapai pengalaman tentang kondisi trans tertinggi.

Memang Siddharta berhasil mencapai kondisi itu. Namun, dia merasa gagal ketika kembali menjadi diri sendiri dan masih belum bisa terbebas dari ketakutan, penderitaan, dan hawa nafsu.

Waisak merupakan hari raya bagi penganut Buddhisme untuk memperingati kelahiran, pemenangan (ilmu), dan wafatnya Buddha.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News