Waisak, Siddharta, dan Buddha

Waisak, Siddharta, dan Buddha
Warga Tionghoa membersihkan patung di Wihara Buddha Dharma & 8 Pho Sat, Bogor. Foto: Ricardo/JPNN.com

Kemudian Siddharta bertemu lima petapa lain yang diyakini mampu menghilangkan kamma atau karma jahat menuju pelepasan abadi. Pada periode itu, dia menempa diri makin keras.

Sidharta bertapa dengan praktik ketat yang meliputi puasa ekstrem (hanya makan beberapa butur nasi per hari), pengendalian napas, dan membatasi gerak dalam meditasi yang lama. Dia mengenakan pakaian compang-camping, bahkan ada yang menyebutnya telanjang.

Pada musim dingin, Siddharta tidur di tempat terbuka. Dalam kondisi menggigil, dia berbaring beralaskan jerami.

Praktik itu membuat Siddharta mengalami kerontokan rambut. Tubuhnya pun sangat kurus sehingga tulang-tulangnya terlihat menonjol.

Namun, hal itu tak mengesankannya. Sebab, penyiksaan diri hanya membuatnya lemah.

"Dari pengalaman ini, Siddharta mengerti bahwa kehidupan spiritual paling baik dijalankan sebagai jalan tengah di antara kesengaran indra yang ekstrem dan pertapaan yang begitu keras..." (John L. Esposito, Darrel J Fasching, dan Todd Lewis, 2015:430).

Karen Amrmstrong dalam bukunya, Buddha, menyebut kondisi itulah yang menjadi titik balik proses pencarian Siddharta akan pencerahan. Dia memutuskan mengendalikan sifat dasar manusia dan tidak melawannya.

Siddharta memilih 'jalan tengah' untuk mencari kebahagiaan sejati.

Waisak merupakan hari raya bagi penganut Buddhisme untuk memperingati kelahiran, pemenangan (ilmu), dan wafatnya Buddha.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News