Wayang

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Wayang
Ilustrasi. Foto: Zeynita Gibbons/Antara

Namun, terjadi "sibling rivalry", rivalitas antar-keluarga, sejak masa kecil, dan Pandawa yang minoritas selalu menjadi bahan rundungan mayoritas Kurawa.

Perpetual fight, pertarungan abadi itu akhirnya harus ditentukan melalui pertempuran besar Baratayuda.

Dua kerajaan beserta semua sekutunya berhadapan di palagan Padang Kurusetra untuk menjalani partai grand final, untuk menentukan siapa yang akan menjadi juara dan menjadi penguasa dunia.

Baratayuda adalah the judgment day, hari pengadilan, dan menjadi the moment of truth, momen kebenaran, untuk memastikan bahwa kebaikan akan menang di dunia. Pandawa, sebagai pejuang kebenaran, pada akhirnya memenangi pertempuran besar itu.

Kebenaran memperoleh kemenangan, meski harus dilakukan dengan membantai seluruh keluarga lawan, termasuk para sesepuh dan guru-guru Pandawa sendiri.

Dalam meraih kemenangan itu segala taktik dan strategi dipakai, termasuk trik dan muslihat yang paling licik. Desepsi, penipuan, insinuasi, fitnah, hoaks, disinformasi, propaganda, dan semua trik dipakai dalam Baratayuda untuk mengalahkan musuh.

Pada akhirnya Pandawa memperoleh kemenangan. Namun, kemenangan itu dicapai dengan segala macam cara.

Machiavelli tidak mengutip Baratayuda, atau Baratayuda tidak pernah menyebut Machiavelli.

Pasopati yang menjadi andalan Arjuna membelah dada Karna. Arjuna menangis. Karna mati dengan tersenyum.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News