Waduh, Konsumsi Daging Asia Mempercepat Kerusakan Lingkung

Waduh, Konsumsi Daging Asia Mempercepat Kerusakan Lingkung
Penjual daging. Ilustrasi Foto: Cecep Mulyana/dok.JPNN.com

jpnn.com - Deretan daging segar terpajang rapi di etalase Majang Meat Market, Seoul, Korea Selatan (Korsel). Pasar daging terbesar di Korsel itu tak pernah sepi pembeli. Sebaliknya, semakin hari, jumlah pedagang di sana kian bertambah. Sebab, permintaan pasar juga terus meningkat.

Fenomena itu tidak hanya terjadi di Korsel. Meningkatnya konsumsi daging juga terjadi di negara-negara Asia yang lain. Penyebab utamanya adalah pergeseran gaya hidup masyarakat. Kini sebagian besar orang memilih tinggal di kota. Sebagai orang kota, masyarakat pun meninggalkan gaya hidup lama. Termasuk menu santapan.

Di kota, masyarakat lebih suka mengonsumsi daging. Sebab, daging lebih mudah didapat. Pasar daging ada di mana-mana. Jika tak mau pergi ke pasar pun, mereka bisa membeli daging di supermarket atau bahkan toko modern dekat rumah.

’’Pertumbuhan pendapatan menjadi faktor pemicu terbesar,’’ ujar David Dawe, ekonom senior Food and Agriculture Organization (FAO) Bangkok, sebagaimana dilansir International Business Times awal pekan.

Penghasilan yang tinggi di kota membuat masyarakat lebih sejahtera. Akses terhadap listrik juga semakin mudah. Semuanya ada asal ada duitnya. Maka, tiap keluarga pasti memiliki lemari pendingin alias kulkas yang digunakan untuk menyimpan daging. Otomatis, pasokan daging di tiap-tiap keluarga tersedia. Demikian juga produk laut yang bisa dibeli dalam kondisi segar dan langsung disimpan di kulkas.

Seiring dengan berubahnya perilaku manusia, nilai sosial juga tidak lagi sama. Penelitian Monash University dan University of Technology Sydney (UTS) menyebutkan bahwa masyarakat modern menjadikan daging sebagai tolok ukur kesejahteraan. Mereka yang mengonsumsi daging adalah orang-orang yang sejahtera. Maka, masyarakat berbondong-bondong beralih ke daging.

Asia Research and Engagement (ARE) dalam jurnal berjudul Charting Asia's Protein Journey melaporkan bahwa konsumsi daging menunjukkan tren yang kian meningkat. Demikian pula konsumsi makanan laut. Pada 2050, peningkatannya diprediksi mencapai 78 persen.

’’Itu baik untuk nutrisi, tapi tidak untuk lingkungan,’’ ujar Serena Tan, salah seorang periset ARE, kepada Reuters. Sebelum disembelih untuk kemudian dimanfaatkan dagingnya, sapi mengonsumsi sejumlah besar rumput. Kendati lantas memantik krisis lahan, bukan sumber makanan sapi yang menjadi masalah. Yang menjadi perkara justru kotoran sapi dan gas buangnya.

Meningkatnya konsumsi daging juga terjadi di negara-negara Asia berkontribusi besar terhadap rusaknya lingkungan

Sumber Jawa Pos

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News