Ahok Gagal Paham

Ahok Gagal Paham
Unjuk rasa buruh di kawasan Bundaran HI. Foto: dok.JPNN

Menurut Anda, masalah yang diatur Pergub itu tak penting?

Memang benar, ada-ada saja ulah pejabat negara ini. Kalau tidak korup, seperti hendak memamerkan pemikiran yang aneh-aneh. Kebijakan yang dilahirkannya, justru menempuh jalan sepi. Seperti tak ada lagi kesibukannya, yaitu bagaimana membawa perubahan signifikan bagi kehidupan rakyat Jakarta yang lebih layak. Memiliki hunian yang lebih pantas, bisa bekerja dengan mendapatkan upah yang layak dan lebih sejahtera, mengatasi banjir Jakarta, dan kemacetan Ibukota tentunya.

Mari kita tengok kembali karya Ahok ini. Pergub Nomor 228 Tahun 2015, dibuat bertepatan pemerintahan pilihan rakyat Jokowi-JK genap berumur satu tahun. Terdapat kesan politik yang sengaja dihadirkan dari penerbitan Pergub tersebut. Demokrasi kembali dibayangi awan kegelapan.

Jadi Pergub ini membuat demokrasi mundur?

Iya benar.‎ Tujuh belas tahun silam, Indonesia telah menghirup udara agak segar. Kebebasan berdemokrasi, mendapat sedikit jaminan dalam aturan negara. Kebebasan menyatakan pendapat di muka umum diundangkan tepat pada tanggal 26 Oktober 1998, melalui Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Jaminan penuh atas kebebasan menyatakan pendapat di muka umum, terlindungi dari UU No. 9 Tahun 1998 tersebut. Ketimbang nuansa “gaduh” sebentar lagi, dari maha karya gubernur Ahok, yang hendak mengatur persoalan hanya mengupas kulit luarnya saja.

Pada pasal 4 Pergub tersebut, Ahok hanya membolehkan lokasi penyampaian pendapat di muka umum, hanya di tiga titik. Yaitu Parkir Timur Senayan, Alun-Alun Demokrasi DPR RI, dan Silang Selatan Monas. Bunyi dipasal 9-nya, Ahok terang benderang menyatakan larangan, jika unjuk rasa, dan sebagainya, dilakukan di luar tiga titik yang ditentukan. Lanjut pada pasal 13, Ahok akan membubarkan kemerdekaan menyatakan pendapat di muka umum, dengan mengerahkan SatPol PP, POLRI dan TNI.

Enam produk undang-undang dijadikan Ahok sebagai dasar pengingat diterbitkannya Pergub Ahok, kecuali UUD 1945. Yang tekesan berpotensi mengerangkeng kembali kebebasan berdemokrasi. Padahal jika ditelusuri, “Pergub Ahok” ini jauh di bawah UU No.  9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.

Dalam undang-undang tersebut, semua aturan main sudah jelas. Pergub yang satu ini terkesan hanya mencari sensasi belaka. Belum berumur sebulan, sebuah pernyataan diluncurkan Kepala Badan dan Kesatuan Bangsa (Kesbangpol) DKI Ratiyono, akan merevisi  soal lokasi berunjuk rasa. Untuk tak menyebutkan secara spesifik sebagai keharusan tempat berdemonstrasi. Melainkan, Pemprov DKI menyediakan tempat di tiga lokasi itu.

PERATURAN Gubernur Nomor 228 Tahun 2015, yang diterbitkan oleh Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, memancing polemik.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News