Airbag Pelita

Oleh: Dahlan Iskan

Airbag Pelita
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Hebat. Berarti semua penumpang begitu disiplin: mengenakan sabuk pengaman. Hanya dengan itu penumpang tidak terlempar: sabuk pengaman.

Minggu ini ada kejadian lain: pesawat 787 mendadak "jatuh" dari puncak ketinggiannya. Pesawat dari Sidney ke Selandia Baru. Tersentak ke bawah.

Begitu banyak yang terluka: 50 orang –12 di antaranya harus masuk rumah sakit. Mereka terlempar dari kursi. Membentur kursi lain. Membentur langit-langit pesawat.

Penyebabnya satu: mereka tidak mau tetap pakai sabuk pengaman.

Sudah lama saya disiplin pakai sabuk pengaman. Yakni sejak ada kejadian pesawat di Jepang yang mendadak "jatuh" dari puncak ketinggiannya. Juga Boeing 787. ''Jatuh''-nya sangat dalam: 5.000 kaki.

Pesawat ternyata sudah didesain anti turbulensi. Terjatuh dari ketinggian sedalam itu pun bisa seimbang lagi di ketinggian tertentu.

Tidak satu pun yang meninggal. Hanya satu yang cedera: kepala membentur plafon pesawat. Berarti hanya satu orang itu yang tidak mau pakai sabuk pengaman.

Jumat pagi kemarin itu saya berangkat ke Jakarta pakai Pelita Air. Penuh. Hanya dapat seat di kelas bisnis. Mubazir. Tidak bisa makan. Apa boleh buat.

Guncangan fisik tidak hanya sesekali terasa. Guncangan batin lebih-lebih lagi: teringat bagaimana naik pesawat yang pilot dan copilot-nya tertidur 28 menit.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News