Alpukat Sigit

Oleh: Dahlan Iskan

Alpukat Sigit
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

"Bisa dinaikkan pakai skru (screw conveyor)," kata Sigit. Berarti harus ada tambahan alat penarik sampah.

Saya lihat tungku sampah ciptaan Sigit ini jalan keluar untuk kota-kota di Indonesia. Bukan untuk desa seperti Taji –yang sampah rumah tangganya sudah jadi pupuk di rumah masing-masing.

Tungku Sigit lebih banyak nganggur. Apalagi, kalau sedang tidak ada kegiatan besar di pondok Temboro.

Sesekali Temboro memang didatangi puluhan ribu jemaah selama satu minggu. Sampahnya banyak sekali. Lokasi tungku Sigit hanya sekitar 300 meter dari pintu belakang pondok.

Saya lihat beberapa pekerja sibuk di sebelah tungku. Banyak plat baja lagi dirangkai. Rupanya Sigit sudah dapat pesanan. Dua tungku untuk Probolinggo dan satu tungku untuk pondok modern Gontor Ponorogo.

"Yang untuk Probolinggo seminggu lagi sudah bisa jadi," katanya. Sigit akan ke Probolinggo saat pemasangan nanti: menyupervisi tenaga yang mengerjakan di sana.

Plat bajanya dirangkai di Taji. Bata merahnya dibeli dari Desa Winong –terkenal sebagai produsen genteng bermutu. "Saya harus pilih sendiri batanya. Tidak boleh bata yang dicampur sekam. Tidak bisa tahan lama," kata Sigit.

Ternyata justru Probolinggo pemakai pertama Tungku Sigit. Bukan Magetan.

Saya menangkap semangat Sigit yang tinggi untuk mengubah nasib desanya. Saya mendoakannya dalam hati. Lalu mengajaknya cepat-cepat ke tungku sampah ciptaannya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News