Altius

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Altius
Gianmarco Tamberi (kiri) dan Mutaz Essa Barshim berbagi medali emas Olimpiade Tokyo 2020. Foto: (Athletics Weekly)

Pada nomor final lompat tinggi pria, keduanya persis sama mencapai lompatan setinggi 2,37 meter. Untuk menentukan siapa yang ‘’altius’’, palimg tinggi, untuk menjadi juara dan memenangkan medali emas, kedua atlet itu diberi tiga kali kesempatan memperbaiki.

Namun, tiga kai melompat, dua-duanya tidak bisa berhasil melewati mistar 2,39.

Situasi menjadi tegang karena deadlock. Ibarat dalam final sepak bola, pertandingan babak normal sudah berakhir, keadaan masih imbang. Dilanjutkan babak tambahan 2x15 menit, keadaan tidak berubah. Maka, pemenang harus ditentukan melalui adu penalti.

Barshim dan Tamberi menghadapi situasi yang sama. Harus ada pemenang yang ditentukan melalui adu penalti. Keduanya menghadapi babak sudden death. Keduanya diberi kesempatan masing-masing satu kali lompatan untuk menentukan siapa yang menjadi juara.

Barshim sudah siap untuk melompat lagi. Namun, Tamberi tidak siap, karena pada lompatan terakhir cedera, kakinya mengalami dislokasi, ia tidak bisa melompat lagi.

Ia memang mempunyai riwayat cedera panjang. Pada Olimpiade sebelumnya di Rio de Janeiro, 2016, kakinya patah pada sebuah lompatan.

Bagi seorang atlet, apalagi atlet lompat tinggi, cedera patah kaki sama dengan kehilangan separuh nyawa. Tamberi nyaris putus asa.

Namun, ia bekerja sangat keras untuk bisa pulih. Satu-satunya yang ia inginkan adalah bertanding kembali di Olimpiade.

Berbagi emas untuk satu nomor adalah yang pertama kalinya dalam Olimpiade sejak 1912.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News