Anak Presiden dan Bayi Kontet

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Anak Presiden dan Bayi Kontet
Ilustrasi stunting. Foto: Istimewa for JPNN.com

Padahal, kalau dilihat dari angka tertinggi rerata nasional bayi kontet ada di Papua dan NTT. Di dua provinsi itu tentu tidak banyak ibu-ibu yang ikut pengajian, karena Islam menjadi agama minoritas.

Cara berpikir seperti ini sangat mungkin terjadi karena logical fallacy atau kesesatan berpikir. Dilihat dari persentase jumlah bayi kontet, terlihat bahwa konsentrasi tertinggi ada di luar Jawa, yakni di provinsi-provinsi yang tingkat kesejahteraan ekonominya rendah. 

Dari dua faktor ordinal ini sebenarnya mudah sekali diambil kesimpulan adanya korelasi positif antara tingkat ekonomi yang rendah dengan kekurangan gizi yang menyebabkan bayi kontet. Tidak perlu menjadi profesor untuk mengambil kesimpulan statistik sederhana seperti itu.

Mengaitkan bayi kontet dengan fenomena maraknya pengajian menimbulkan kecurigaan adanya sikap yang tendensius dari Megawati. 

Ada semacam kecurigaan laten bahwa peningkatan kesadaran beragama di kalangan ibu-ibu menjadi penyebab problem meluasnya bayi kontet dan problem sosial lainnya.

Dengan melihat korelasi positif antara kesejahteraan yang rendah dengan gejala kurang gizi, maka solusinya tidak bisa hanya sekadar menggunakan instrumen sosial. 

Menyelesaikan kasus bayi kontet tidak bisa sekadar melibatkan Kementerian Sosial dan kementerian urusan perempuan. Masalah bayi kontet baru akan teratasi kalau persoalan struktural kesejahteraan rakyat bisa diatasi.

Karena itu, solusi yang diterapkan harus solusi struktural, yaitu memperbaiki kesejahteraan sosial masyarakat, dan membuat pemerataan pendapatan supaya jurang antara kaya dan miskin tidak makin menganga. 

Megawati Soekarnoputri menyebut dirinya sebagai manusia unik di Indonesia. Inilah beberapa keunikan yang disebutnya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News