Apa Kabar Balai Pustaka?

Apa Kabar Balai Pustaka?
Ilustrasi Balai Pustaka. Foto: Capture laman Google.

Roman itu sekaligus mendegradasi nilai-nilai keperempuan di Minangkabau.

Dalam Siti Nurbaja seolah peranan perempuan atau istri hanya sekadar mengurus rumah tangga. Padahal, kedudukan perempuan di Minang, jauh lebih tinggi dari itu.

Bahkan, menarik lini masa sezaman, pada masa Perang Belasting atau Perang Pajak  berkecamuk pada 1908 di Minangkabau, satu di antara pimpinannya yang sangat melegenda adalah Siti Manggopoh.

Bersama pasukannya, Siti Manggopoh membantai serdadu Belanda yang baru saja mendirikan markas di wilayah Tiku, Pantai Barat Sumatera.

Jangan pernah berharap menemukan kisah sejarah perjuangan Siti Manggopoh dalam buku-buku terbitan Balai Poestaka.

Karena, pada 1923, sebagaimana dicuplik Pramoedya Ananta Toer dalam Tempo Doeloe, Kepala Balai Poestaka (BP) D.A. Rinkes pernah berkata, “ia (BP) tentu saja akan menjadi benteng kekuasaan dan ketentraman. Di mana perkembangan sosial dalam pengertian yang paling luas, dapat berjalan tanpa gangguan.”

Pernyataan Rinkes ini, menurut Hilmar Farid, jelas memperlihatkan posisi BP sebagai lembaga yang mempertahankan kekuasaan kolonial.

Keuntungan yang diraih Hindia Belanda dari BP bukan secara finansial. Maka, meski merugi negara tetap menyokong lembaga literasi tersebut.

Balai Pustaka masih ada. Jika dulu pemerintah kolonial lihai betul mempergunakannya sebagai instrumen strategi kebudayaan, bagaimana dengan hari ini?

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News