Asrama Indonesia Merdeka, Titik Tolak Proklamasi yang Terlupakan

Asrama Indonesia Merdeka, Titik Tolak Proklamasi yang Terlupakan
Para pemimpin di Asrama Indonesia Merdeka, termuat dalam buku Jejak Intel Jepang. Foto: Wenri Wanhar/JPNN.com.

Yoshizumi menyambut baik usul itu. “Ini mungkin tampak tidak penting bagi orang asing apakah kata Indonesia digunakan atau tidak, tapi itu penting bagi orang Indonesia,” Yoshizumi menyokong usulan Soebardjo.

Pendek kisah, usulan Subardjo disepakati. Perundingan berikutnya membahas bagaimana cara mengelola sekolah itu. Maeda meminta Asrama Indonesia Merdeka dikelola oleh Yoshizumi dan Nishijima.

Yoshizumi dan Nishijima menolak dan mengusulkan sebaiknya orang Indonesia yang memimpin Asrama Indonesia Merdeka. Mereka menyarankan Subardjo mengambil tanggung jawab itu. 

Hanya saja, dengan alasan terlalu tua untuk posisi itu dan masih bekerja di kantor departemen penelitian Kaigun Bukanfu, Subardjo menyarankan Asrama Indonesia Merdeka dipimpin oleh anak muda yang tidak dekat dengan Jepang. 

Soebardjo yang diberi kepercayaan penuh merekomendasikan nama Wikana. 

"Sdr. Wikana adalah seorang pejuang lama yang berlindung di Kaigun memakai nama Sunjoto untuk menghindari kejaran Kenpetai," tulis Entol Chaerudin dalam memoarnya. 

Dosen-dosen yang dipilih mengajar di Asrama Indonesia Merdeka sebagai berikut:

Sukarno mengajar sejarah gerakan nasionalis; Hatta mengajar gerakan koperasi, Soebardjo mengajar hukum internasional, Sjahrir mengajar prinsip-prinsip nasionalisme dan demokrasi, Iwa Kusuma Sumantri mengajar tentang perburuhan, Wikana sebagai kepala sekolah membawakan materi gerakan pemuda. Yoshizumi dan Nishijima bertanggung jawab atas ceramah tentang perang gerilya dan masalah pertanian.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News