Aturan Pancapresan di RUU Pemilu jadi Polemik

Margarito menambahkan, jika perlu, aturan terkait pembatasan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold tidak perlu ada dalam Pemilu 2019. Sebab, ambang batas justru menghilangkan jutaan suara pemilih karena tidak dihitung.
Merujuk pada Pemilu 2014, ada 22 juta suara yang hilang karena aturan ambang batas parlemen.
”Dengan pilpres bersamaan, harus dipastikan suara yang diperoleh capres juga bisa berakibat pada suara partai. Tidak cukup rasional jika partainya ikut (pemilu), tapi tidak bisa mengajukan capres,” tegasnya.
Di tempat sama, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PPP Ahmad Baidowi mengatakan, aturan pengajuan capres-cawapres yang memberikan hak kepada parpol pemilik kursi di DPR memiliki landasan.
Menurut Awiek, sapaan akrabnya, sudah ada yurisprudensi dalam pelaksanaan pilkada bahwa yang berhak mengajukan calon kepala daerah adalah parpol pemilik kursi di DPRD.
”Di pilkada saja ada yurisprudensi parpol baru tidak bisa mencalonkan diri. Kalau hanya pendukung, bisa,” kata Awiek.
Mantan komisioner KPU Pemilu 2004 Chusnul Mariyah menambahkan, salah satu isu yang berkembang menjelang Pemilu 2019 adalah e-voting atau pemilihan secara elektronik. Secara pribadi, Chusnul tak sependapat dengan e-voting.
Sebab, bisa jadi pemilu menjadi proses yang pabrikasi, yang memunculkan kesan sudah dirancang pemenangnya. ”Indonesia sudah sangat demokratis dengan penghitungan suara di TPS,” kata Chusnul.
JAKARTA – Pemerintah telah menyelesaikan penyusunan RUU Pemilu. Polemik mulai muncul terkait materi RUU yang membatasi hak pengajuan capres-cawapres
- Nilam Sari Harapkan Sisdiknas Baru Atasi Kesenjangan Pendidikan di Daerah 3T
- Pengamat: Masyarakat Tak Rela Prabowo Terkontaminasi Jokowi
- Kepala BGN Curhat kepada DPR: Seluruh Struktural Kami Belum Menerima Gaji
- Wasekjen Hanura Kritik Pertemuan Erick Thohir dengan KPK dan Kejagung Soal UU BUMN
- Kelompok DPD RI di MPR Dorong Agenda Perubahan UUD 1945 pada 2026
- NasDem Karawang Bangun Kantor Megah Simbol Pemersatu