Basarah: Budaya Demokrasi Tidak Bisa Dibentuk Instan

Basarah: Budaya Demokrasi Tidak Bisa Dibentuk Instan
Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah saat Sosialiasi 4 Pilar MPR RI bertajuk "Membangun Watak dan Karakter Kebangsaan Indonesia" bekerja sama dengan Gerakan Siswa Nasional Indonesia di DI Yogyakarta, Senin (13/1). Foto: Humas MPR

jpnn.com, YOGYAKARTA - Budaya demokrasi tidak bisa dibentuk dengan cara instan, melainkan harus ditanamkan sejak dini di bangku sekolah. Caranya adalah dengan memasukkan kurikulum pendidikan demokrasi ke dalam mata pelajaran di sekolah dan juga dengan mengoptimalkan peran organisasi ekstra sekolah sebagai wahana pendidikan penerapan budaya demokrasi substansial.

Demikian disampaikan Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah saat memberikan materi Sosialiasi 4 Pilar MPR RI bertajuk "Membangun Watak dan Karakter Kebangsaan Indonesia" bekerja sama dengan Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GNSI) di Balai PMD, Kalasan, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Senin (13/1/2019).

“Sebut saja organisasi ekstra sekolah seperti GSNI. Lewat GSNI segenap siswa digembleng untuk saling menghargai dan menghormati puspa ragam perbedaan dan juga diajari untuk mendengar dan menghormati pendapat orang lain, mengedepankan musyawarah-mufakat dalam mengambil keputusan dan menerapkan kultur demokrasi substantif dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang disebut dengan demokrasi substansial yang diajarkan sejak dini,” ujar legislator asal daerah pemilihan Malang Raya tersebut.

Basarah menjelaskan bahwa internalisasi budaya demokrasi substansial dalam diri remaja demikian mendesak. Setidaknya ada dua hal yang menjadi latar belakangnya. Pertama adalah dalam faktanya penerapan demokrasi di Indonesia selama ini baru sebatas demokrasi prosedural saja. Akibatnya, demokrasi hanya dipahami sebatas saat berlangsungnya kontestasi elektoral dalam memilih pemimpin saja.

Sedangkan alasan kedua adalah soal karakteristik remaja. Menurut pakar psikologi / kejiwaan Elisabeth Hurlock dalam bukunya Development Psychology bahwa salah satu ciri remaja yang paling menonjol adalah ketidakseimbangan emosial dan pencarian terhadap identitas diri.

"Jadi remaja ini punya rasa penasaran yang tinggi. Kondisi semacam inilah yang cukup rawan. Jika tidak memiliki bekal ilmu dan agama yang kuat bukan mustahil remaja akan jatuh atau terjerat dengan ideologi-ideologi asing yang belum tentu cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia. Dan tidak jarang dalam praktiknya penyebaran ideologi-ideologi transnasional itu menggunakan kecanggihan teknologi informasi," terang Ketua Umum Persatuan Alumni GMNI tersebut.

Terakhir Basarah menegaskan remaja dan pemuda merupakan aset penting bangsa Indonesia yang harus dijaga dan dirawat. Maka tidak mengherankan jika banyak tokoh-tokoh besar yang memberikan atensi besar kepada pemuda. Misalnya Ulama Mesir tersohor Syeikh Yusuf Al-Qardhawi yang menyebut 'jika ingin melihat suatu bangsa di masa depan, maka lihatlah pemudanya di hari ini'. Bahkan Bung Karno pernah berpidato dengan nada yang sangat optimis tentang pemuda dengan menyebut "Beri Aku 10 Pemuda, Niscaya Akan Kuguncangkan Dunia".

"Pemuda inilah yang menjadi ujung tombak sekaligus duta-duta yang aktif dalam mengkampanyekan nilai-nilai toleransi, kerukunan sosial dan persaudaran sebagai karakter bangsa Indonesia. Perbedaan dalam demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Lawan berkompetisi adalah teman berdemokrasi dan lawan berdebat adalah temen berfikir. Ke depan harapan kita semua demokrasi substantif terus berkembang," kata Basarah.(jpnn)


Budaya demokrasi tidak bisa dibentuk dengan cara instan, tetapi harus ditanamkan sejak dini di bangku sekolah. Caranya adalah memasukkan di kurikulum pendidikan


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News