Benang Kuning Jokowi-Ahok

Oleh; Mohammad Hailuki*

Benang Kuning Jokowi-Ahok
Presiden Joko Widodo saat menghadiri penutupan Rapimnas Partai Golkar 2016 di Jakarta, beberapa waktu lalu. Foto: dokumen JPNN.Com

Adapun Sofyan Djalil, meski bukan portofolio Golkar namun tetap bernuansa kuning karena dikenal sebagai dekat sahabat Jusuf Kalla.

Dalam pada itu, semenjak Golkar secara resmi menyatakan akan mengusung Ahok sebagai cagub DKI, PDIP pun kian menjauh dari politikus asal Belitung tersebut. Meski komunikasi politik tetap dilakukan, namun belakangan semakin santer PDIP akan mengusung kadernya sendiri untuk bertarung di ibu kota negara. Tiga perhelatan akbar yaitu perombakan kabinet, pilkada DKI 2018 dan Pilpres 2019 kini terikat oleh rajutan benang kuning, bukan lagi benang merah.

Beberapa Konsekuensi
Kemesraan Jokowi dan Golkar bukanlah sebuah manuver tanpa risiko. Ada beberapa konsekuensi yang harus Jokowi terima, pertama, hubungan Jokowi dengan PDIP khususnya Megawati Soekarnoputri rawan mengalami perenggangan. Karena secara tersirat Jokowi ‘menerima’ pengusungan dirinya sebagai capres oleh Golkar mendahului sikap Teuku Umar (baca: kediaman pribadi Megawati).

Jokowi juga secara ‘merangkak’ mendukung Ahok yang otomatis akan menampatkannya dalam posisi berlawanan dengan asumsi PDIP mengusung nama lainnya.

Konsekuensi kedua, citra positif Jokowi akan tergerus oleh citra negatif Setya Novanto sebagai ketua umum Golkar. Kisah ‘papa minta saham Freeport’ akan terus menggelayut dalam benak pikiran masyarakat. Rekaman percakapan rahasia Setya dengan Mohammad Reza dan Ma’roef Sjamsoeddin akan terus terputar dalam memori publik. Bahkan yang terburuk akan terbangun persepsi negatif terkait jatah saham tersebut.

Lalu konsekuensi ketiga, lantaran Golkar adalah representasi partai borjuis dan kapitalis, maka mantra Trisakti Soekarno yang selalu diagungkan Jokowi sebagai landasan perjuangannya akan semakin diragukan masyarakat. Jokowi akan dibenturkan dengan mazhab ekonomi kerakyatan dalam program Nawacita. Artinya, ada potensi massa marhaen perlahan menjauhi Jokowi.

Semua konsekuensi ini tentu disadari oleh Jokowi. Sebagai politikus tentu Jokowi pasti punya kalkulasi tersendiri, apalagi angka survei kepuasan publik atas kinerjanya cukup menenangkan hati. Karpet istana memang merah namun singgasananya tetap kuning.(***)

*Penulis adalah pemerhati politik Universitas Nasional Jakarta dan pengurus Ikatan Alumni Ilmu Politik IISIP Jakarta

TERLALU naif rasanya apabila kita menganggap peristiwa reshuffle kabinet sebagai sebuah hak prerogatif semata seolah hanya fenomena politik biasa


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News