Bilal

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Bilal
Warga terpaksa jalan kaki melewati pos penyekatan PPKM Darurat di kawasan Jakarta. Foto: Kenny Kurnia Putra/JPNN.com

Becak tua berwarna merah itu sekaligus berfungsi sebagai rumah tempat tinggal baginya. Setiap hari ia menarik becak melayani warga sekitar, dan setiap malam Bilal tidur meringkuk di atas becaknya.

Beberapa hari Bilal tidak terlihat menggenjot becaknya. Ia hanya memarkir becak itu di ujung gang. Seseorang yang curiga mencoba mendekati.

Tidak ada reaksi. Ketika tubuh tuanya dipegang ternyata ia mengatupkan mata tidak bernyawa lagi. Jasadnya sudah dingin.

Beberapa hari ia mengeluh sakit. Tentu Bilal tidak bisa ke rumah sakit atau ke apotek membeli obat. Ia hanya beristirahat di atas becaknya. Tubuh rentanya tidak mampu lagi menahan penderitaan. Dia mengembuskan napas di atas becak, yang setia menemaninya selama setengah abad.

Bahkan kerabatnya pun tidak sesetia becaknya. Ia meninggal dalam kesendirian. Jasad Bilal dibawa ke rumah sakit. Dan persoalan baru muncul lagi. Tidak ada biaya yang dipakai untuk membayar ongkos ‘’Bedah Bumi’’ sampai Rp 5 juta. Jenazahnya telantar beberapa hari.

Kelurahan maupun kecamatan tidak bisa membantu biaya pemakaman Bilal, karena ternyata Bilal tidak termasuk dalam kategori orang telantar. Alasannya, karena Bilal punya KTP (kartu tanda keluarga) dan KSK (kartu susunan keluarga).

Karena itu, pemerintah tidak bisa mengurus jenazahnya dan menyerahkan pemulasaraannya kepada keluarga.

Selama 50 tahun hidup terlunta-lunta, Bilal ternyata tidak masuk dalam kategori orang telantar. Hanya setelah kasusnya muncul di media, dan ada intervensi politik dari DPRD, jenazah Bilal kemudian bisa dimakamkan. Hasil tes usap menunjukkan Bilal positif Covid-19.

Pandemi Covid-19 ini seolah menjadi seleksi alam dalam teori evolusi Charles Darwin. Hanya orang-orang yang kuat yang bisa bertahan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News