Bilal

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Bilal
Warga terpaksa jalan kaki melewati pos penyekatan PPKM Darurat di kawasan Jakarta. Foto: Kenny Kurnia Putra/JPNN.com

Pagebluk Covid-19 membawa korban paling parah di kalangan orang-orang miskin yang tidak bisa menjangkau layanan kesehatan.

Potret kesedihan itu ditampilkan di media internasional dan menjadi konsumsi global.

The Guardian dari Inggris memotret kisah seorang anak bernama Riki Priyanto, 16 tahun yang harus menghidupi tiga adiknya karena kedua orang tuanya sudah meninggal karena sakit.

Riki menjadi tukang parkir di sebuah toko elektronika, dan biasanya mendapatkan Rp 15 ribu sehari.

Jumlah yang terlalu kecil untuk hidup berempat, tetapi lumayan untuk sekadar bisa bertahan hidup.

Namun, karena PPKM Darurat, toko elektronika itu tutup selama sebulan, dan Riki bersama tiga adiknya kelaparan setiap hari. Mereka hanya bisa mengandalkan bantuan warga yang berbaik hati mengirim makanan untuk mereka.

Pandemi ini seolah menjadi seleksi alam dalam teori evolusi Charles Darwin. Hanya orang-orang yang kuat yang bisa bertahan, ‘’survival of the fittest’’. Orang yang lemah akan tereliminasi dengan sendirinya karena ‘’natural selection’’, seleksi alam.

Orang-orang miskin hidup dalam suasana yang mengerikan, seperti yang digambarkan Thomas Hobbes, hidup yang 'pendek, sepi, melarat, menjijikkan, dan brutal'. Solitary, poor, nasty, short, and brutal, adalah hidup dalam alam Leviathan di mana manusia menjadi serigala yang memangsa manusia lainnya, homo homini lupus.

Pandemi Covid-19 ini seolah menjadi seleksi alam dalam teori evolusi Charles Darwin. Hanya orang-orang yang kuat yang bisa bertahan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News