Boikot

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Boikot
Habib Rizieq Shihab, November 2020. Foto: M Amjad/JPNN.com

Boikot semacam ini masuk dalam kategori ‘’direct boycott’’, boikot langsung, yang lebih berisiko menimbulkan ‘’violent retaliation’’ pembalasan yang keras, dari penguasa.

Boikot tidak langsung, atau indirect boycott, bisa menjadi alternatif untuk menghindari pembalasan dari penguasa. Apa yang diserukan HRS adalah bentuk boikot tidak langsung dengan risiko hukum yang relatif kecil.

Boikot terhadap dua tokoh itu dianggap sebagai test case atau uji coba. Jika efektif maka seruan boikot akan diperluas.

Cara lain yang dilakukan untuk melawan kekuasaan adalah dengan melakukan pemogokan atau strike. Cara ini lebih efektif dan dampaknya terasa langsung ketika dilakukan para pekerja atau kalangan buruh dalam jumlah besar dan serentak.

Di negara-negara yang punya organisasi buruh kuat, pemogokan menjadi senjata yang efektif. Setiap kali ada keputusan yang dianggap merugikan para buruh dan perundingan tidak menghasilkan keputusan yang maksimal, maka gerakan mogok akan dipakai sebagai senjata pemungkas.

Sampai sekarang, gerakan pemogokan menjadi andalan para aktivis buruh di Inggris dan Australia. Di kedua negara itu gerakan buruh menjadi gerakan politik yang kuat dan partai buruh selalu menjadi kekuatan yang efektif melawan partai konservatif.

Setiap kali buruh melakukan pemogokan, hampir bisa dipastikan layanan publik akan terpengaruh, dan akan memaksa penguasa untuk memberikan konsesi dan menuruti tuntutan buruh.

Gerakan buruh yang paling fenomenal terjadi di Polandia pada 1980 dengan berdirinya organisasi ‘’Solidarisnoc’’ atau Solidaritas yang dipimpin oleh Lech Walesa. Saat itu rezim komunis Polandia memerintah dengan sangat represif.

Habib Rizieq menyerukan boikot terhadap Irjen Fadil Imran dan Letjen Dudung Abdurrahman.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News