BPK Temukan Pelanggaran SPI dan Kepatuhan Aturan Atas LKPP 2019

BPK Temukan Pelanggaran SPI dan Kepatuhan Aturan Atas LKPP 2019
Ketua BPK Agung Firman Sampurna. Foto: Antara/Ade Irma Junida

jpnn.com, JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini wajar tanpa pengeculian (WTP) atas laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) 2019. Namun, Ketua BPK Agung Firma Sampurna mengatakan bukan berarti opini WTP membuat LKPP lepas dari masalah.

Dia menyatakan BPK mengidentifikasi sejumlah masalah baik itu dalam sistem pengendalian internal (SPI) maupun kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang harus ditindaklanjuti.

“Adapun temuan permasalahan terkait kelemahan SPI dan kepatuhan tersebut, pertama kelemahan dalam penatausahaan piutang perpajakan pada Direktorat Jenderal Perpajakan," kata Agung saat membacakan LHP atas LKPP 2019 di Rapat Paripurna DPR, Selasa (14/6).

Kedua, lanjut Agung, kewajiban pemerintah selaku pemegang saham pengendali PT Asabri (Persero) dan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) belum diukur atau diestimasi. 

Ketiga, pengendalian atas pencatatan aset kontraktor kontrak kerja sama, dan aset yang berasal dari pengelolaan bantuan likuditas Bank Indonesia belum memadai.

Keempat, pengungkapan kewajiban jangka panjang atas program pensiun pada LKPP 2019 sebesar Rp 2876,76 triliun belum didukung standar akuntansi.

Kelima, penyajian aset yang berasal dari realisasi belanja dengan tujuan untuk diserahkan kepada masyatakat Rp 44,2 triliun pada 34 K/L tidak seragam, serta terdapat permasalahan penatausahaan dan pertanggungjawaban realisasi belanja  dengan tujuan untuk diserahkan kepada masyatakat yang tidak sesuai ketentuan.

Keenam, penyaluran dana peremajaan kelapa sawit tahun 2016-2019 pada Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit di bawah Kementerian Keuangan belum sepenuhnya dapat menjamin  penggunaan sesuai tujuan yang diteyapjan, karena identitas pekebun penerima dana belum seluruhnya valid, dan adanya dana yang belum dipertanggungjawabkan.

Ketujuh, skema pengalokasian anggaran untuk pengadaan tanah proyek strategis nasional pada pos pembiayaan tidak sesuai dengan PP 71 2010 tentang Standar Akuntasi Pemerintah. Investasi tanah proyek strategjs nasional untuk kepentingan umum tidak sesuai PP Nomor 63 Tahun 2019 tentang Investasi Pemerintah.

Kedelapan, ketidaksesuaian waktu pelaksanaan program atau kegiatan dengan tahun penganggaran atas kompensasi bahan bakar minyak atau BBM dan listrik.

Kesembilan, kelemahaan dalam penatausahaan dan pencatatan kas,  setara kas, persediaan, aset tetap dan aset tak berwujud terutama pada K/L.

Masalah yang teridentifikasi adalah penggunaan rekening pribadi untuk pengelolaan dana yang bersumber APBN. Saldo kas tidak sesuai fisik. Sisa kas terlambaf atau belum disetor,  dengan penggunaan kas yang tidak dilengkapi dokumen pertanggungjawaban pada 34 K/L. Terdapat ketidaksesuaian pencatatan persediaan dengan ketentuan pada 53 K/L, dan pengelolaan aset tetap pada 77 K/L yang belum memadai berdampak adanya saldo BMN yang tidak akurat.

Kesepuluh, terdapat surat tagihan pajak atas kekurang setor yang belum diterbitkan Ditjen Pajak, dan  keterlambatan penyetoran pajak dengan sanksi.

Kesebelas pemberian fasilitas transaksi impor yang dibebaskan dan atau tidak dipungut PPN dan PPh pada Ditjen Pajak yang terindikasi bukan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis.

Selain itu, kata Agung, terdapat potensi kekurangan penetapan penerimaan negara dari pendapatan bea masuk atau bea masuk antidumping dan pajak dalam negeri impor pada Ditjen Bea Cukai.

Keduabelas, terdapat kewajiban restitusi pajak yang telah terbit surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran pajak namun tidak segera diproses pembayarannya. Terindikasinya belum diterbitkan SKPP,  serta keterlambatan penerbitan SKPP pada Ditjen Pajak

Ketigabelas, adanya pengelolaan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dan piutang serta penganggaran pelaksanaan dan pertanggungjawaban belanja yang belun sesuai ketentuan pada K/L.

Agung menegaskan tugas BPK tidak berhenti setelah LKPP diserahkan, tetapi akan berlanjut sehingga seluruh hasil pemeriksaan ditindaklanjuti. Menurutnya, komitmen mewujudkan akuntabilitas tidak saja diukur dari sisi laporan keuangan, tetapi yang penting ialah menindaklanjuti hasil pemeriksaannya.

Pasal 20 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 (tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Tanggung Jawab Keuangan Negara), pejabat pengelola negara wajib menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK," katanya.

Dia menjelaskan hasil pemantauan tindak lanjut rekomendasi BPK atas pemeriksaan LKPP, LKKL, dan LK BUN sejak 2004 hingga semester dua 2019, ada 16854 temuab dab 35654 rekomendasi.

Hasilnya, kata Agung, 25819 rekomendasi atau 72,42 persen senilai Rp 17,13 triliun telah ditindaklanjuti sesuai rekomendasi. Sebanyak 7642 rekomendasi atau 21,43 persen senilai 16,3 triliun telah ditindaklanjuti tetapi belum sesuai, dan dalam proses tindak lanjut.

Agung menambahkan 2033 rekomendasi atau 5,7 persen senilai Rp 2,65 triliun belum ditindaklanjuti dan 160 rekomendasi atau 6,45 persen senilai Rp 1,47 triliun tidak dapat ditindalanjuti dengan alasan yang sah.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan berharap hasil pemeriksaan BPK dapat menjadi bahan masukan sangat berharga bagi dewan khususnya, komisi-komisi di DPT untuk membahas dan menindaklanjuti dalam rangka tugas pengawasan dan anggaran melalui rapat kerja, dan rapat dengar pendapat dengan mitra kerja masing-masing.(boy/jpnn)

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini wajar tanpa pengeculian (WTP) atas laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) 2019.


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News