Budek dan Buta Itu Biasa, Beda dengan Melangkahi Makam Kiai

Budek dan Buta Itu Biasa, Beda dengan Melangkahi Makam Kiai
Pengamat komunikasi politik Ari Junaedi. Foto: Ist

jpnn.com - Pengajar Ilmu Komunikasi Politik di Universitas Indonesia Ari Junaedi mengatakan, menjelang pelaksanaan Pilpres 2019 sudah pasti kubu petahana dan kubu oposisi mengerahkan segala daya dan upaya untuk menaikkan elektabilitas masing-masing.

Hanya saja, ada kubu yang menggunakan strategi kampanye elegan dan ada yang tidak. "Bagi yang tidak mengutamakan strategi kampanye elegan, maka setiap pernyataan lawan pasti dikritisi atau 'dibelejeti' untuk kerugian lawan dan keuntungan sendiri," ujar Ari kepada JPNN, Sabtu (17/11).

Pembimbing disertasi S3 di Universitas Padjajaran ini kemudian mencontohkan pernyataan 'budek-buta' calon wakil presiden Ma'ruf Amin untuk menggambarkan orang yang tidak bisa melihat prestasi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla selama ini.

Menurut Ari, penggunaan kata budek dan buta dalam bahasa pergaulan di Jawa Timur merupakan hal yang biasa.

"Karena dianggap hal yang biasa, maka imej yang muncul setiap hal yang sepele, oleh pihak yang terlibat di pilpres pasti akan dibuat 'sepolo' atau berlebihan," ucapnya.

Ari meyakini ucapan Kiai Ma'ruf soal budek dan buta tidak akan berpengaruh terhadap elektabilitas Jokowi, meski ada beberapa pihak yang mempermasalahkannya ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

"Berbeda misalnya dengan kasus cawapres Sandiaga Salahudin Uno yang melangkahi makam Kiai Bisri, salah satu pendiri NU, saya kira itu sangat berdampak besar terhadap elektabilitas Prabowo-Sandi," ucapnya.

Demikian juga dengan ucapan Prabowo soal tampang Boyolali, Ari memprediksi sangat signifikan menggerogoti imej Prabowo. (gir/jpnn)


Sandiaga Uno melangkahi makam pendiri NU, sementara Ma'ruf Amin menggunakan kata budek dan buta untuk menyebut pengkritik jokowi. Mana yang lebih parah?


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News