Bukan Makan Pisang Bakubak

Bukan Makan Pisang Bakubak
Bukan Makan Pisang Bakubak
Kisah lama ini tergantung bagaimana menafsirkannya. Tapi saya merasa man on the street kadang seperti kurang kerjaan. Apa saja dikritik. Tentu saja kritik itu penting. Namun mestinya harus selalu proporsional.

Tidak juga memberi kesan mencari-cari kesalahan. Apalagi mengintai. Eh, kebetulan ada sesuatu yang boleh dikritik, maka sindiran tersebut pun meluncur. Kira-kira mata mengantuk disorong bantal. Ruas ketemu bukunya, kata orang Melayu.

***

Kesan itu pula yang mencuat ketika berbagai pihak mengkritisi pembagian majalah dan buku yang mengulas tentang diri dan keluarga Presiden Presiden Susilo “SBY” Bambang Yudhoyono kepada para tamu yang menghadiri Upacara HUT RI ke-65 tahun di Istana Negara. Bahkan, ada tokoh NGO yang menganggap bahwa distribusi buku-buku tersebut sebagai  politik pencitraan yang sudah melampaui batas. Bahkan, menuduhnya sebagai sudah sampai pada tingkat narsisme.

Misalnya, ada buku yang memuat wawancara khusus harian Jurnal Nasional dengan putra Presiden, Agus Harimurti Yudhoyono, putra sulung SBY. Masih ada pemutaran lagu ciptaan Presiden SBY. Padahal, dalam sejarahnya, upacara di Istana Negara tidak ada pemutaran lagu lain kecuali lagu kebangsaan dan lagu wajib.

SAYA teringat kisah seorang ayah dan putranya. Tatkala si ayah menaiki keledai dan anaknya berjalan mengikutinya, kalangan man on the street mencibir. 

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News