Bukan Makan Pisang Bakubak

Bukan Makan Pisang Bakubak
Bukan Makan Pisang Bakubak
SAYA teringat kisah seorang ayah dan putranya. Tatkala si ayah menaiki keledai dan anaknya berjalan mengikutinya, kalangan man on the street mencibir.  “Orangtua itu tak sayang kepada putranya. Ia naik keledai dan rela anaknya berjalan kaki,” sindir orang-orang.

Si ayah agaknya seorang demokrat. Mereka lalu berganti posisi. Sang ayah berjalan kaki, tapi si anak menunggang hewan yang tak sekuat kuda itu. Eh, orang-orang juga mencela. “Anak tak tahu diri. Ia rela ayahnya berjalan kaki,” sumpah seseorang.

Serba salah. Tapi ayah anak ini sabar. Kemudian, keduanya berjalan kaki dan sang keledai tanpa beban. Namun lagi-lagi mereka dianggap bodoh. Ada keledai tapi kok tak dimanfaatkan. Toh keduanya menerima kritik itu.

Sebagai solusinya, spontan keduanya menaiki hewan itu. Bah, orang-orang bersorak dan menuduh keduanya tak menyayangi binatang. Mungkin, karena jengkel, lalu ayah beranak itu memikul keledai itu, dan, aha, lagi-lagi mereka dianggap sudah gila.

SAYA teringat kisah seorang ayah dan putranya. Tatkala si ayah menaiki keledai dan anaknya berjalan mengikutinya, kalangan man on the street mencibir. 

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News