Catat Cerita Para Eksil yang Ingin Mati di Tanah Kelahiran

Ari Junaedi, Raih Doktor berkat Teliti Pelarian Politik Tragedi 1965

Catat Cerita Para Eksil yang Ingin Mati di Tanah Kelahiran
KORBAN 1965: Ari Junaedi (kanan) bersama keluarga Imam Soedjono di Biljmer, Belanda pada pertengahan 2007. Imam adalah seorang tokoh pelarian politik (eksil). Foto : Dokuken Pribadi for Jawa Pos
Berdasar studi yang dilakukan Ari, para pelarian politik tragedi 1965 berasal dari beberapa golongan. Ada diplomat dan keluarganya, mahasiswa ikatan dinas, serta utusan delegasi resmi yang tengah berada di luar negeri.

 

Pada umumnya "sesuai angin politik saat itu" mereka dikirim ke sejumlah negara blok komunis seperti Uni Soviet, Cekoslowakia, Polandia, Rumania, Jerman Timur, Hungaria, Bulgaria, serta Kuba, termasuk ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT). "Ketika tragedi 1965 terjadi, mereka terkena pencabutan paspor sehingga tidak bisa pulang ke tanah air," jelas anggota dewan redaksi tabloid Suluh Perjuangan PDIP itu. Padahal, tidak sedikit pelarian politik tragedi 1965 tersebut yang sama sekali tidak terkait dengan PKI.

 

Dalam usaha untuk bertahan hidup, para eksil menyebar ke berbagai negara Eropa. Di antaranya, Prancis, Jerman, Swedia, dan Belanda. Di negara-negara itulah Ari harus mencari para eskil.

 

Dia menjelaskan, karena tidak bisa kembali ke tanah air, para eksil berusaha agar bisa diterima di negara jujukan, menetap, dan bisa bekerja meski ilegal. Ada juga yang terpaksa memanipulasi identitas dengan identitas palsu untuk survive.

 

Para pelarian politik (eksil) tragedi G 30 S PKI 1965 menarik untuk diteliti. Itulah yang dilakukan Ari Junaedi, dosen FISIP UI, untuk meraih gelar

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News