Cyber Army

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Cyber Army
Ilustrasi. Foto: Ricardo/JPNN.com

Inilah ironi teknologi yang sekarang menjadi dilema besar dalam pelaksanaan demokrasi di Amerika Serikat dan di semua negara demokrasi dunia.

Komite Intelijen Senat Amerika Serikat membentuk lembaga khusus Special Counsel Investigation khusus untuk melakukan kegiatan kontra-intelijen untuk menyelidiki perang siber yang dilakukan Rusia di ranah digital Amerika Serikat dalam pemiliha presiden 2016.

Tim yang dipimpin Direktur FBI Robert Muller mengeluarkan laporan ‘’Muller Investigation’’ yang menyebut ada keterlibatan 13 pihak di Rusia dalam perang siber untuk mendiskreditkan Hillary Clinton.

Dalam menjalankan operasi intelijennya IRA memakai berbagai akun palsu yang dioperasikan oleh ‘’bot’’ atau robot digital yang terotomatisasi untuk menggaungkan pesan-pesan palsu melalui berbagai platform media sosial.

IRA juga memakai pasukan troll untuk mengirim pesan digital dengan tujuan untuk memprovokasi dan membangkitkan tanggapan emosional atau kemarahan dari pengguna lainnya.

Dalam beberapa kasus hal ini hampir menyebabkan pertarungan fisik terbuka antara dua kubu yang berseberangan.

Skandal manipulasi data pengguna internet untuk kepentingan politik terungkap dalam kasus Cambridge Analytica. Lembaga survei ini mengumpulkan informasi pribadi 87 juta pengguna Facebook dan menjualnya untuk kepentingan politik.

Kasus ini terbongkar, dan pendiri Facebook Mark Zuckerberg mengakui telah terjadi pembobolan data itu. Facebook dikecam luas karena skandal ini dan harga sahamnya melorot.

Cyber army sudah menjadi bagian dari lanskap politik yang tidak terpisahkan dalam dinamika politik Indonesia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News