Dan Mantra itu pun Bersemayam di Gunung Sepuh

Dan Mantra itu pun Bersemayam di Gunung Sepuh
Matahari terbit di puncak Gunung Sepuh, Bandung Selatan, Jumat, 24 Februari 2017. Dipotret dari Bukit Cinta, Setu Patengan. Foto: Wenri Wanhar/JPNN.com.

Bilamana angin bertiup, awan bergeser, terbentanglah kawah cantik dan dinding cadas yang ditumbuhi pohon kayu khas gunung berapi. Seperti rasamala, saninten, huru, samida dan lain sebagainya.

Penat-penat seketika pulih begitu mata disuguhkan panorama alam nan begitu indah. Pohon-pohon tinggi yang menjulang saling bergandengan diselimuti kabut putih. 

Langit seolah hanya sejengkal dari kepala. Saking aduhainya, banyak penulis yang mengandaikannya umpama ceceran surga di muka bumi.

Nah, sebelum diteliti Junghuhn, "surga yang tercecer" itu terkenal sangat angker. 

Burung akan mati bila melintas di atas kawah. Manusia-pun enggan untuk menjamahnya. Sepenglihatan, memang tak satu pun burung berterbangan di sana.

Menurut cerita rakyat, secara harafiah, Gunung Patuha berasal dari kata Patua atau Pak Tua. 

"Orang sini menyebut itu Gunung Sepuh," kata Pak Kani, 57 tahun, rakyat setempat yang punya warung di Bukit Cinta, Setu Patengan. 

Oiya, sebelum berangkat bersama rombongan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup ke Kawah Putih, pagi-pagi sekali saya sempat olahraga ringan di sekitar Setu Patengan yang udaranya…ambooooi, segar betul. 

ORANG-ORANG

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News