Debat Santri

Oleh: Dahlan Iskan

Debat Santri
Dahlan Iskan. Foto/ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

Waktu cucu saya ikut kompetisi debat di Thailand, Korea, dan Amerika, saya pikir tim tiga orangnya dari satu sekolahnya: SMP Muhammadiyah 5 Surabaya. Ternyata hanya dia yang dari Muhammadiyah. Satu temannya lagi dari Jakarta. Satunya dari Kenya, Afrika.

Khas anak muda sekarang: mereka saling cari teman lewat internet. Ketika saya ikut mengantar dia ke Connecticut, Amerika, saya baru tahu: cucu saya itu juga baru pertama bertemu dengan anggota timnya di lokasi debat. Yakni saat sama-sama akan melakukan pendaftaran ulang.

Kalau bukan anak sekarang tidak bisa: satu tim belum pernah saling bertemu.

Debat santri nanti pun seperti itu. Bebas. Boleh atas nama pondok pesantren, boleh juga tim independen.

Di babak penyisihan sistemnya gugur. Satu tim bertemu dengan tim lain. Pemenangnya masuk tahap berikutnya. Baru di babak final-lah lima tim bertemu di satu debat.

Masih ada waktu. Masih terbuka ide baru agar jalannya debat lebih seru.

Novi sendiri yang jadi ketua dewan juri. Juri lainnya dari Masjid Cheng Ho dan dari alumnus santri yang seperti Novi, pandai berbahasa Mandarin.

Novi adalah doktor ilmu politik dari Guangzhou. Setelah menjadi santri di Pondok Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Novi kuliah di Xiamen. Lalu kuliah S-2 juga di Xiamen.

Kami pun sepakat tidak langsung ke Lasem. Tidak jauh setelah melewati Sarang, kami belok kiri. Mampir ke pondok pesantrennya Gus Baha.

JPNN.com WhatsApp

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News