Demo Masak

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Demo Masak
Pembuatan minyak kelapa dalam acara demo masak tanpa minyak goreng yang diselenggarakan PDIP, Senin (28/3). Ilustrasi. Foto: Dea Hardianingsih/JPNN.com.

Hal yang sama terulang lagi menjelang akhir masa jabatan Jokowi di 2024. Ketika isu penundaan pemilu makin gencar dan perlawanan terhadap isu itu juga kian kuat, maka muncullah jargon ‘’2024 Ikut Jokowi’’. Jargon ini juga dikotomis, memisahkan antara kita dan mereka.

Relasi kekuasaan dalam pertarungan politik diwujudkan melalui penggunaan kata-kata yang menunjukkan perlawanan satu pihak dengan pihak lainnya dengan cara mendiskreditkan pihak lawan labelling dan stereotyping. 

Pelabelan muncul untuk menunjukkan relasi kekuasaan yang berkaitan dengan identitas kelompok. Pelabelan ini bertujuan membuat perbedaan atau pemisahan, misalnya intoleransi versus toleransi, kebinekaan versus radikal, Pancasila versus anti-Pancasila.

Maka muncullah cebong lawan kampret dan kemudian kadrun lawan cebong. Labelisasi itu menjadi garis demarkasi yang memisahkan satu front dengan front lainnya, dalam perang terbuka yang berkepanjangan. 

Relasi kuasa itu terlihat pada dua peristiwa di Patung Kuda dan di Lenteng Agung. Dua-duanya adalah demonstrasi, tetapi konotasinya berseberangan dan bertolak belakang. Demonstrasi yang dilakukan anak-anak mahasiswa itu adalah oposisi yang tidak absah. Karena itu mereka diisolasi dan disingkirkan.

Demonstrasi yang dilakukan para elite PDIP itu adalah demonstrasi dukungan terhadap kekuasaan. Demo ini dianggap lebih absah dan legitimate. Demonstrasi sebagai bagian dari ekspresi demokrasi telah mengalami degradasi dan pelecehan menjadi demonstrasi panci dan masak-memasak. (*)

PDIP menggelar demo memasak tanpa minyak goreng. BEM SI menggelar demo politik, salah satunya memprotes kelangkaan migor. Sama-sama demo, tetapi beda tujuan.


Redaktur : Boy
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News