Dendam Alumni

Oleh Dahlan Iskan

Dendam Alumni
Foto: disway.id

Setiap berangkat sekolah buku-bukunya dinaikkan mobil itu. Sebuah tali diikatkan di bagian depannya. Untuk ditarik sejauh 1 Km. Menuju sekolah. Teman-temannya pun menitipkan buku mereka di mobilnya. Menambah kebanggaan hatinya.

"Mobil saya itu truk. Ada bak di belakangnya. Buku ditaruh di bak itu," kata Sahiduddin mengenang masa kecilnya.

Di tangan sang adik Pondok Gintung terus maju. Sekarang ini luasnya mencapai 40 hektare.

Saya mampir ke Pondok Gintung Rabu lalu. Saya ingin tahu seperti apa wujudnya di siang hari.

Tujuh tahun lalu saya sudah ke sana, tetapi menjelang subuh. Setelah salat Subuh saya meneruskan perjalanan. Jadi, kalau ditanya Pondok Gintung seperti apa, jawaban saya: gelap sekali.

Ternyata siang harinya sangat indah --untuk ukuran pondok. Luas sekali. Besar sekali. Deretan bangunan bertingkatnya begitu banyak. Ditata secara apik. Ruang terbukanya luas-luas. Pepohonannya begitu rindang.

Sosok sang Kiai Sahiduddin ini sama sekali seperti bukan kiai. Lebih mirip seorang petani umumnya di Gintung. Bajunya, celananya, sandalnya sangat pedesaan.

Sang kiai juga tidak mengenakan kopiah atau serban. Rambutnya dipotong pendek dengan uban di sana-sini.

Begitu banyak pesantren yang dibangun oleh alumni Gontor. Mengapa bisa begitu? Itu lantaran kebijakan pimpinan Gontor sejak dahulu.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News