Dengar Kiai Langitan, Bos Holcim Manggut-Manggut

Dengar Kiai Langitan, Bos Holcim Manggut-Manggut
Wartawan. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

Gap itu sampai sekarang masih terasa. Denis McShane, mantan diplomat Inggris, mencatat dulu orang-orang Swiss senang belajar bahasa saudara-saudara lain "suku". Misalnya, orang Prancis dan Italia belajar bahasa Jerman. Apalagi, belajar bahasa Jerman bagi mereka akan menjadi kunci sukses untuk berkarir tinggal di wilayah Jerman.

Repotnya, bahasa yang digunakan penutur di sana adalah dialek Swiss-Jerman yang berbeda dengan bahasa tulis Jerman yang diajarkan di sekolah-sekolah. Hal itulah yang menyebabkan banyak warga keturunan Prancis tetap kesulitan berkomunikasi meski mereka sudah kursus atau belajar bahasa Jerman.

Keterpautan untuk saling belajar bahasa "saudara" seperti itulah yang kini luntur. Penutur bahasa Jerman lebih suka belajar bahasa Inggris. Demikian juga warga keturunan Prancis atau Italia lebih suka belajar dan menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Seperti yang saya temui di lapangan, kebanyakan warga Swiss "baik di komunitas Jerman maupun Prancis" rata-rata bisa berbahasa Inggris.

Perbedaan antara warga keturunan Jerman, Prancis, dan Italia itu juga sampai ke gaya hidup. Komunitas berbahasa Prancis serta Italia (antara lain di Ticino dan Lugano), misalnya, terkesan lebih hangat dan menikmati hidup. Pada hari kerja, saat rehat makan siang, orang-orang komunitas ini bisa menghabiskan waktu dua jam sambil bersosialisasi. Kebiasaan ini tidak biasa ditemui di kawasan-kawasan berbahasa Jerman.

Suatu siang saya mencoba naik kapal wisata di danau (Lac Leman) Jenewa. Untuk naik saja harus bayar 24 Swiss Frenc (sekitar Rp 200 ribu). Kapal itu mengelilingi danau dan menjual tempat-tempat bersejarah di Lac Leman (termasuk tempat peristirahatan mendiang pemimpin Uni Soviet Lenin).

Yang memenuhi meja restorasi kapal ternyata bukan hanya para turis, tapi juga orang-orang kantoran yang masih mengenakan jas lengkap. Setelah dua jam berkeliling, kapal balik ke dermaga semula. Orang-orang kantoran itu bergegas kembali.

Pada hari yang lain saya bersama Duta Besar RI untuk Swiss Djoko Susilo mendapat undangan presentasi sekaligus makan siang di kantor pusat Holcim, pabrik semen yang berkantor pusat di Zurich, yang kini membangun pabrik semen di Tuban, Jawa Timur. Sebagian besar waktu kami di sana ditemani dua eksekutifnya, Lionel Lathion yang berdarah Prancis, dan Rudy Blum yang kebetulan berdarah Jerman. Baik Lathion maupun Blum sangat bersemangat menjelaskan proyek barunya di Indonesia itu.

Keduanya sangat bangga dengan Indonesia dan hafal dengan nama penanggung jawab proyeknya di Kecamatan Merakurak (orang Indonesia). Termasuk, menyebut nama Bupati Tuban Haeny Relawati. Lathion tampil seperti layaknya "franco-businessman", yakni setelan jas warga gelap serta berbicara lebih banyak tentang aspek strategi bisnis Holcim di Indonesia. Sementara Blum yang bertubuh lebih tinggi dan kekar serta berjas cerah menguasai lebih detail aspek-aspek teknis pabriknya.
 
Menanggapi presentasi, Djoko Susilo memberi advis agar petinggi Holcim juga sowan untuk minta restu kepada KH Abdullah Faqih, pengasuh Pondok Pesantrean Langitan Tuban yang sangat dihormati warga Nahdlatul Ulama. Mendengar itu, kedua petinggi Holcim itu menyimak serius, mencatat namanya, kemudian manggut-manggut.   
 
Setelah presentasi, kami diundang makan ke kafetaria. Di tengah-tengah ngobrol seusai makan siang itu beberapa kali Blum menunjuk jamnya kepada Lathion. Sepintas terkesan kurang sopan karena seperti "mau mengusir". Rupanya, Blum bermaksud segera mengajak kami mengunjungi lokasi pabrik semen Holcim pertama di Swiss yang berlokasi tak jauh dari kantornya.

Swiss juga menghadapi tantangan berat bagaimana mengelola kemajemukan masyarakatnya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News