Despotisme Baru

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Despotisme Baru
Ilustrasi sidang. Foto: dokumen JPNN

Di negara despotis tidak ada korupsi karena korupsi menjadi praktik sehari-hari yang merajalela sehingga tidak terasa sebagai korupsi. Negara despotis adalah negara yang korup dan tidak mempunyai legitimasi moral sebagai sebuah pemerintahan.

Di negara despotis mekanisme demokrasi berjalan seperti biasa. Ada pemilihan umum yang dilakukan secara rutin, tetapi pelaksanaannya sudah diatur dengan rapi dan hasilnya bisa direkayasa dengan kekuatan politik uang.

Partai politik menjadi bagian dari kekuasaan despotik yang berkoalisi dengan kekuatan uang dan modal. Kekuatan despotik ini menjadi oligarki yang sangat kuat yang bisa menjamin kekuasaan despot bertahan lama.

Apakah negara despotis macam itu masih ada di dunia? Model despotis lama yang totaliter dan otoriter sudah tidak ada. Dahulu ada Stalin di Uni Soviet, Idi Amin di Uganda, Pol Pot di Vietnam, dan di Soeharto di Indonesia. Namun, model despot kuno itu sekarang sudah tidak laku.

Tidak berarti despotisme sudah hilang. Yang terjadi adalah despotisme bermetamorfosa menjadi ‘’despotisme baru’’ atau ‘’new despotism’’. Despotisme dengan wajah baru ini banyak bermunculan di seluruh dunia dan seolah-olah menampakkan wajah kekuasaan yang ramah dan pro-rakyat atau wong cilik.

John Keane, Profesor ilmu politik dari Harvard University menyorot fenomena munculnya despotisme gaya baru ini dalam ‘’The New Despotism’’ (2020).

Ia melihat gejala despotisme baru ini bermunculan di banyak negara dengan mempergunakan demokrasi sebagai kedok dan topeng.

Despotisme baru melahirkan pemimpin-pemimpin yang populis dan dicintai rakyat. Despotisme baru menjalankan demokrasi prosedural seperti biasa, tetapi proses dan hasilnya sudah direkayasa secara sistematis.

Negara despotisme bebas dari korupsi karena despotisme itu sendiri adalah sistem yang korup.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News