Di Sini, Senjata dan Narkoba Sudah Digaris Merah
Lelaki usia sekira 30-an ini pergi tanpa melewati kantor pos lintas batas Marore. Ilegal. Hal itu terpaksa dilakukan lantaran birokrasi perizinan yang rumit. Makan waktu. Bila dokumen tak lengkap, akan dipulangkan kembali ke Tinakareng.
Selain itu, kalau melewati pos lintas batas, barang yang dibawa tidak boleh melebihi berat yang sudah ditentukan serta harus membayar bea dan cukai jika membawa barang yang kena pajak.
"Kalau disita, pendapatan pasti kurang. Itu tak dapat menutup operasional pulang pergi,” tambahnya.
Apalagi, ada batasan volume barang yang dibawa. “Karenanya, warga sekitar sini lebih memilih lewat secara diam-diam,” akunya.
Karena ilegal, Fikran dan para pelintas batas tak berdokumen itu tak bisa bertolak di saat mentari bersinar. Malam adalah saat yang tepat.
“Kalau dari sini (Tinakareng) biasanya berangkat jam delapan malam. Esok sore tiba di General Santos. Kami menggunakan pumpboat kecil. Panjangnya hanya lima sampai tujuh meter. Hanya punya satu mesin,” jelasnya.
Lantas, bagaimana mendapatkan arah menuju General Santos? Fikran selalu membawa kompas. Tapi, alam ikut menjadi penunjuk arah. Matahari di siang hari, dan rasi bintang saat malam.
Penduduk Tinakareng dan Sangihe Besar memang lebih senang ke General Santos. Harga ikan tuna di sana berkali-kali lipat lebih mahal. Di Tahuna (ibu kota Sangihe), sekilo ikan harganya Rp18 ribu.
Beberapa kali menggagalkan penyelundupan senjata dan narkoba. Bertarung nyawa di laut lepas demi rupiah. Itulah kisah penduduk Kampung Nanedakele
- Ninis Kesuma Adriani, Srikandi BUMN Inspiratif di Balik Ketahanan Pangan Nasional
- Dulu Penerjemah Bahasa, kini Jadi Pengusaha Berkat PTFI
- Mengintip Pasar Apung di KCBN Muaro Jambi, Perempuan Pelaku Utama, Mayoritas Sarjana
- Tony Wenas, Antara Misi di Freeport dan Jiwa Rock
- Hujan & Petir Tak Patahkan Semangat Polri Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Wilayah Terluar Dumai
- Tentang Nusakambangan, Pulau yang Diusulkan Ganjar Jadi Pembuangan Koruptor