Dikecewakan Dunia Aktivis, Suciwati Membuka Usaha

Sebagian Keuntungan untuk Korban Pelanggaran HAM

Dikecewakan Dunia Aktivis, Suciwati Membuka Usaha
Suciwati di toko suvenirnya. Foto: Malang Post/JPNN.
Namun, Tuhan berkehendak lain. Pada 7 September 2004, Munir meninggal. Dalam perjalanannya ke Negeri Kincir Angin itulah, aktivis HAM yang lantang mengkritik tentara itu dibunuh dengan racun arsenik. Suci pun langsung menanggalkan rencana memulai usaha tadi. Dia memilih kembali ke jalan untuk menguak misteri kematian sang suami tercinta.

Perjuangan itu penuh onak dan kerikil. Berbilang kali dia mengalami teror, tapi tidak sedikit pun Suci mundur. Bahkan, ketika sejumlah orang yang diduga terlibat pembunuhan berencana terhadap Munir itu sudah mulai disidang, Suci yang sebelum menikah sudah aktif bergerak sebagai aktivis buruh itu tidak mengendurkan perjuangan. Sebab, dia merasa keadilan atas sang suami belum sepenuhnya ditegakkan.

Sampai akhirnya Suci memutuskan kembali ke Malang pada 2009. Bukan karena jenuh atau karena merasa perjuangannya telah mencapai hasil yang memuaskan. "Saya kecewa dengan dunia aktivis," keluhnya. "Dan, untuk menjaga hati saya, saya harus menjaga jarak (dengan para aktivis)," tandas peraih Human Right First bersama almarhum Munir pada 2006 itu.

Kekecewaan itu semakin membuncah ketika banyak rekan aktivis yang selama ini sejalan-beriringan memilih menjual idealisme. Mereka merapat ke lingkaran kekuasaan dan berbalik menyerang dirinya. "Banyak sahabat, khususnya angkatan 98, yang menganggap, dengan masuk ke dalam kekuasaan akan bisa banyak membantu perjuangan kami. Tapi, mana buktinya" sergahnya dengan nada tinggi.

Suciwati sengaja kembali ke Malang dan membuka usaha untuk menjaga jarak dengan banyak rekan aktivis yang dia nilai telah menggadaikan idealisme.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News