Diprediksi Ada Parpol Lama jadi Korban Ambang Batas Parlemen

Diprediksi Ada Parpol Lama jadi Korban Ambang Batas Parlemen
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Foto: dokumen JPNN.Com

Menurut Margarito, akan sulit menerapkan aturan ambang batas pada Pemilu 2019. Sebab, pelaksanaan pemilu legislatif dan Pilpres akan dilakukan secara serentak.

Oleh karena itu, penetapan angka sebagai ambang batas menjadi tidak relevan. Kecuali, Pemilu dilangsungkan tidak secara serentak.Dia juga menambahkan, Pemilu 2019 nanti sebaiknya belum menerapkan ambang batas. Baik pada Pileg maupun Pilpres.

"Parliamentary threshold itu ditiadakan saja lebih baik. Begitu juga Presidential threshold," sarannya.

Pendapat itu diamini Pengamat Hukum Rahmat Bastian. Menurutnya, secara konstitusi, ambang batas parlemen mengebiri aspirasi rakyat. Sebab, dengan kebijakan itu, jelas memperkecil nilai dan kualitas hak memilih satu pemilih.

Hitungannya, 100 persen suara pemilih menjadi tidak bulat. Dan hanya tersisa sekitar 0,4 persen saja. "Jadi kalau menurut pendapat saya, akibatnya akan ada sekitar 3,99 persen dikali jumlah Parpol yang kalah dikali suara rakyat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) resmi yang hak pilihnya teranulir," paparnya.

Sebagai orang yang memiliki hak pilih, dia berharap, masyarakat kritis terhadap persoalan ini. "Bayangkan jika setiap satu rakyat memutuskan untuk memperjuangkan hak memilihnya melalui jalur Yudikatif. Khususnya hak memilih yang telah teranulir sendiri, bagaimana?" ujarnya.

Dikatakan bahwa konstitusi tidak pernah mengajarkan Republik Indonesia untuk menganulir suara minoritas. (esy/jpnn)


Ambang batas parlemen (parliamentary threshold) pada Pemilu 2019 menuai banyak kecaman.


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News